Pages

Tuesday, December 28, 2010

KEReBRITIS BUKAN CL

Postingan yang akan saya tuliskan kali ini hanyalah pesan singkat bahwa diluar diriku ada lainnya


  • Kaum kerebritis (baca: miskin) juga figur terkenal di negeri indonesa ini, negeri sejuta pilihan milih kerebritis atau yang lainnya
  • Bedanya dengan selebritis , hanya dalam segi kepemilikan lainnya tidak, fisik anatomi sama
  • Selebritis bisa dibilang hidup berkecukupan. Njomplang, kerebritis hanya akrab dengan kekurangan dan penderitaan maksudnya familier dengan apa yang ada
  • Saking akrabnya, manusia kere itu seperti kebal dengan penderitaan. Bagi mereka, kemiskinan bukan lagi bencana, tetapi sebuah kebiasaan sebuah habit yang sudah melampaui 3bulanan activity . Si kere terbiasa dengan baju tambalan, celana bolong, dan rambut merah jagung karena kesengat cahaya alam 
  • Mereka bukan korban mode, cuma tidak punya cukup uang buat beli baju atau creambath dengan rutin. " ... , mending buat beli beras." 
  • Manusia kere yang dilengkapi dengan segala atribut kekereannya alias miskin semiskin-miskinnya, keraknya miskin (baca bukan kerak bumi) bisa kita lihat sliweran di depan kita
  • Contoh Karto, perwakilan bagi kaum pinggiran yang marginal dan tidak butuh rasa kasihan, tidak pula mau dikasihani. Karto tidak menuntut banyak. Dia hanya ingin keberadaannya dimanusiakan, sama seperti manusia lainnya , di uwongke ra sah nulungin ra sah dimesakke
  • Kere memang bukan lelucon, melainkan fakta di sekitar kita. Meskipun kere jangan engkau anggap dia nggak bisa cerita , Makhluk kere tetap punya cerita yang bisa membuat penderitaan menjadi kekuatan hidup mereka , hidup memang indah life is beautiful meski kere 
  • Jangan menganggap kere itu sepi , ngeyiyip .....nggak mergane aku dewe ngrasakno kere , jangan menganggap kere kuwi ra mutu ra iso ngguyu , ra iso mikir , kretinisme  walah kuwi salah , kere juga bisa clubing ..ning sesama kere neng warung pinggir kali kuwi
  • Karto sudah merasakan kerasnya perjalanan hidup sejak ibunya ditinggal pergi suaminya yang bersstatus tukang becak , yang seharusnya menjadi bapaknya. Dengan alasan ini pula, Karto tidak mau mengkhianati kesetiaan ibunya. Dia pun memutuskan tidak menikah agar bisa tetap mendampinginya.Meski kere dan tidak pernah punya cukup uang, Karto cukup tahu diri dan masih punya harga diri. Sedikit kenal Tuhan, masih sembahyang  puasa namun belum haji 
  • Karto memilih ngutang daripada mencuri untuk makan. Baginya, ngutang adalah satu-satunya cara untuk mengganjal perut.(utangisme), Tersinggung atau sedih mungkin harus hilang di Gyrus Cerebrumnya apalagi jaga image , kepiye maning meski nanti harus mengembalikan , harus nyaur ra ketang nyaure setitik setitik ra iso langsung breg
  • "... Katamya Mereka yang sudah akrab dengan nasib buruk seakan tak bisa lagi tersinggung atau sedih. Kalau ternyata kemelaratan menyeret mereka kepada sang lapar, ya apa boleh buat. Mereka selalu menyiapkan mental cadangan buat ketawa agar jiwa mati rasa terhadap penderitaan."
  • Itulah sekelumit cerita dari bukunya Juslifar M Junus dengan judul Kerebritis yang ku baca kemarim , Terbitan BakBuk Publisher (187 hal) yang bisa anda baca untuk penghiburan .

Penghiburan dikala anda menjadi kere sementara karena kehabisan duit dan nggak usah gendadapan apalagi sampai bunuh diri dengan njebur Got atau style bunuh diri lain hehehehe



ini yang saya maksudkan Jangan menganggap kere itu sepi , ngeyiyip

Kerebritis Share

KOMPAS.com - Niat untuk berkurban itu terpatri di benak Yati (64) sejak lama. Pemulung yang tinggal di gubuk di kawasan Tebet, Jakarta, itu akhirnya bisa mewujudkan keinginannya. Pada Idul Adha kali ini, dia tidak lagi berebut dan dorong-mendorong demi mendapatkan 1 kilogram daging, tetapi justru memberikan dua ekor kambing sebagai kurban.



Kambing itu dikurbankan Yati di tengah segala keterbatasannya. Dia dan Maman, suaminya, sepakat menunda keinginan membeli rumah meskipun sadar bahwa tempat tinggal mereka berada di lokasi ilegal. Mereka juga rela tidak makan daging kurban pada Lebaran kali ini. Hewan kurban yang disalurkan lewat Masjid Raya Al Ittihaad, Tebet, dibagikan kepada yang membutuhkan, termasuk petugas pemerintahan dan aparat keamanan yang meminta daging kurban ke masjid itu.

"Sekarang saya sudah plong. Rasanya seperti naik ke surga," ujar Yati sambil tersenyum.

Dorongan untuk berkurban mulai terasa kuat beberapa pekan lalu. Tiga kali Yati menanyakan ke Maman, apakah mereka mampu membeli kambing. Maman semula ragu dan tidak terlalu menghiraukan istrinya. Namun, dia akhirnya menyilakan sang istri menggunakan uang tabungan untuk membeli kambing.

Dua pekan silam, Yati menanyakan harga kambing kepada Pak Warno, tetangga mereka yang juga penjual kambing. Dia menunjuk dua kambing berwarna coklat. Satu kambing seharga Rp 2 juta dan yang lain Rp 1 juta. Tanpa pikir panjang dan tanpa menawar, Yati langsung mengambil kalung emas yang dibeli dari tabungannya. Dia menjual kalung itu dan mendapatkan uang Rp 3,8 juta. Uang ditukarkan dengan kambing dan sisanya dibelikan kalung emas yang lebih kecil.

Pak Warno mengusulkan agar Yati menitipkan kambing di tempatnya hingga mendekati saat pemotongan hewan kurban. Yati menurut, tetapi karena tidak sabar ia menuntun kambing ke masjid pada Selasa malam. Saat itu belum ada orang yang menaruh hewan kurban di masjid. Yati juga setia memberi pakan kambingnya setiap hari hingga waktu pemotongan hewan kurban, Sabtu pagi.

H Suhendra, panitia kurban Masjid Raya Al Ittihaad, mengaku terkejut dengan niat Yati. "Selama ini, dia tidak pernah absen mendapatkan daging kurban. Tetapi, kali ini dia justru menyumbangkan dua kambing. Selama 27 tahun di masjid ini, belum pernah saya menemui pemulung yang mau menyumbangkan kambing," ujarnya.

Jemaah haji di Tanah Suci Mekkah yang menyaksikan kisah Yati di Kompas TV, Sabtu sore, bahkan sempat terharu dan tergugah.

Yati meninggalkan kampung halamannya di Gunung Sari, Surabaya, Jawa Timur, sejak 1965. Yati menumpang kereta ke Stasiun Beos. Bermodalkan kenekatan, dia memulai hidup di Jakarta. Pekerjaan sebagai pemulung barang bekas dilakoni sejak saat itu. Tempat tinggalnya tidak menetap. Kadang, gerobak yang menampung barang bekas juga dijadikan tempat tidur.

"Kalau nemu pohon rindang dan saya mengantuk, langsung saja saya tidur di gerobak," ucapnya ringan.

Dua tahun terakhir, Yati dan suaminya memilih membangun gubuk di jalur hijau Tebet. Dua kali dalam sehari, mereka berkeliling memungut plastik atau kardus bekas di Manggarai, Jatinegara, Cawang, hingga Kampung Melayu. Tidak jarang Yati diperkenankan masuk Masjid Raya Al Ittihaad bila ada acara di situ. Selain mengambili barang bekas, pengurus masjid juga kerap memberi makanan atau uang ke Yati.

Pendapatan keluarga ini tidak menentu. Selain bergantung jumlah plastik dan kardus yang terkumpul setiap hari, pemulung seperti Yati juga harus berhadapan dengan harga beli barang bekas yang naik-turun. Bila sedang sial, 1 kilogram barang bekas hanya dihargai Rp 300. Ada kalanya juga harga menyentuh Rp 1.000. Dalam 1,5 bulan, Yati dan Maman mengumpulkan uang sekitar Rp 200.000.

Utang ke warung tidak terhindarkan lagi bila barang yang terkumpul belum cukup. Utang makan, minum, dan rokok ini baru tertutupi setelah dia menerima uang hasil penjualan barang. Kalau ada sisa, uang dipakai untuk hidup sehari-hari bersama anak angkatnya. Selebihnya, uang yang masih ada digunakan untuk membeli perhiasan sedapatnya.

Dengan niat berkurban di hari raya, Yati bisa membeli dua kambing dan menutup seluruh utangnya. "Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Selama bisa berbuat baik, ya, kita jalankan saja.



I Like it

Hakikat berkurban itu mengurbankan sesuatu yang paling disayangi untuk mereka yang membutuhkan hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hebat,...rumah saja belum punya, tapi niat sucinya oke...

No comments:

Post a Comment