Pages

Saturday, November 1, 2014

SUSI PUDJIASTUTI

Pagi ini saya memilih seorang untuk saya jadikan pedoman hidup saya khususnya tentang tauladan kerja yang dilakukan intens dan menerus oleh Ibu Susi ...yang notabene hanya lulus SMP oleh Pak Presiden berani mengangkat menjabat sebagai Menteri suatu jabatan publik yang tentu tidak main main jika untuk guyonan dan wah .
Dan ternyata Pak Joko Wi berani meyakini ini benar dan ini memberikan inspirasi kebijakan secara publik ,yang selama hidup saya belum ada yang secara gamblang menjelaskan otak saya hingga sangat transparan dan tegas . Kalau tidak oleh Ibu Susi dan Pak Joko Wi sebelum sebelumnya nggak ada hal semacam ini ada atau tataran dan pikiran ada.

Kerja bukan yang lainnya yang bisa mengatasi dan memperbaiki kehidupan ...kerja yang cerdas tentu bukan kerja yang keras namun tidak cerdas.
Boleh hanya SD, SMP, SMA , Sarjana asal cerdas bukan hanya SD, SMP, SMA , Sarjana ritual yang diatas kertas mendapatkan lisensi namun tidak kredible tidak mumpuni hidup dan diterapkan ke masyarakat.



Nggak usah sekolahpun menurut kajian Ibu Susi ini jika punya intelegensi yang tinggi diyakini dan bisa merubah apa yang ada
Jangan kita ada hanya sekedar ada serta memenuhi tempat sehingga mengganggu lainnya   .   Kuncinya hanya banyak baca penuhi otak dengan pengetahuan berdoa yakini Tuhan akan membantu kita ....................Sukses Mbak Susi semangatnya ...tentu juga pak Joko Wi yang cerdas cara tandangnya. Semoga anda diberi sehat panjang umur dan kecerdasan yang bisa mengilhami kita semua



Dari Ibu Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.

Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang  produktif. 


Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif.

Ini catatan dari Martin Aleida yang sengaja saya ambil mengenai dua orang yang mengilhamiku menjadi semangat untuk hidup dan kerja lagi hehehe

Sastrawan Indonesia, Martin Aleida, menulis semacam surat di dinding Facebooknya, 30 Oktober 2014. Surat tersebut tentang Presiden Jokowi dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Martin memang konsisten menulis status-status panjang di Facebook.Yang membuat unik, ia punya panggilan khas untuk Presiden Jokowi. Rapopo, begitu Martin memanggil Jokowi.
Ia mengabadikan momen demi momen yang Jokowi lakukan lewat cara dia sendiri. Nampaknya Martin memang mengagumi presiden asal Solo itu. Tapi, seringkali ia juga menegur dengan lembut, semacam “dialog imajiner”.
Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 1943. Martin pernah menempuh studi linguistik di Georgetown University, Washington D.C, Amerika Serikat. Ia pernah bekerja di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Juga pernah menjadi wartawan TEMPO.

Berikut surat Martin yang sengaja kami ambil dari dinding Facebooknya;

Wahai Rapopo, kau yang sejak kemarin, bagai seorang kesatria menunggang kuda semberani, datang ke kaki Sinabung memenuhi janjimu saat kau usap kepala korban supaya memilihmu sebagai presiden.
Kesatria! Memenuhi janji, membawa harapan dan bekal hidup buat mereka yang sumber kehidupannya sudah tandus oleh awan, debu panas. Kau tergerak karena empatimu pada mereka yang sedang bergelut dengan kesusahan.

Kucatat juga: ketika kau duduk di kursi yang setengah mati diincar pihak lain, kau berikan sesuatu yang melampaui para pendahulumu.
Kau menganugerahkan kekuasaan kepada begitu banyak perempuan. Kau menampik diskriminasi, juga terhadap perokok dan yang ingin melenggang sonder sebenang bra.

Rapopo, Sukarno silau oleh romantisme wanita. Sedangkan kau memuja kemampuan mereka. Aku sepakat denganmu, kalau berniat menyingkirkan kemiskinan, maka rangkunglah wanita.

Mereka faham benar apa arti kemiskinan yang menyengsarakan. Lelaki bisa lari menghindar bahkan dari peperangan. Merekalah yang bertahan demi anak dan keluarga. Merekalah yang paling menderita.

Ingin kusimpulkan, semua bencana buatan manusia kaumkulah, kaum pria, yang mencetuskannya. Kau datang mencoba menebus kesalahan yang diskriminatif itu.

Rapopo, kemarin aku menonton wawancara orang dekatmu yang cantik: Jeng (maaf) Susi. Kucatat juga kau tidak diskriminatif terhadap kertas yang bernama ijazah.

Susi cuma SMP. Padahal, prof doktor banyak, termasuk yang masuk penjara. Prestasi hidup Susi bikin geleng kepala.

Cuma bahasa Indonesianya seperti ikan dalam keranjang, campur baur. Tak apa, karena suaminya Jerman.

Yang terang lafal Inggrisnya menurutku lebih dari para pejabat terdahulu, termasuk orang nomor satu. Itu menurut aku yang Toefl score nya cuma 300 hehehe…

Salam

No comments:

Post a Comment