Pages

Friday, March 25, 2011

O-jen-EES

Diogenes, seorang filsuf, makan ubi sebagai santap malamnya. Hal itu dilihat oleh rekannya, filsuf Aristippos, yang hidup enak karena menjilat raja.

Aristippos berkata : ‘Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi itu. ‘

Jawab Diogenes : ‘Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu lagi menjilat raja.’

~ A. De Mello ~

Berapa dari kita yang harus menghamba demi untuk kenikmatan hidup kita yang sesaat ini? Menghamba kepada kekuasaan, kedudukan dan kenamaan yang berujung kepada kekayaan. Kalau tidak, tidak mungkin negeri kita ini berada dalam penyakit kronis yang bernama korupsi. Sudah kaya, masih belum puas juga, masih mau tambah kaya dengan cara korupsi. Bagi saya yang otaknya sudah beku ini kadang tak habis pikir juga. Kenikmatan apalagi yang dicari? Untuk saya yang makan nasi dengan dua potong tahu saja sudah nikmat setengah mati dan tidur dengan diatas tikar sudah bisa bermimpi indah , jadi bingung sendiri. Apalagi lagi yang mau dicari?

Siapapun boleh menikmati rejekinya tanpa batas, tapi ada caranya yang benar, bukan dengan menghambakan diri kepada kekuasaan dan menjual kejujuran serta mempertaruhkan harga dirinya. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kita melakukan semua ini demi untuk makan seadanya atau hari ini saja. Harus sampai menjual diri dengan kesadarannya. Tipu sana - sini menjual omongan. Dengan berdalih itulah satu-satunya jalan, mau apalagi?! Daripada tidak makan dan kelaparan? Apakah tidak bisa lagi tetap dalam jalan yang benar dan tetap bisa menikmati hidup ini?

Saya percaya bisa kalau kita selalu mau percaya kepada Tuhan kita yang telah menyediakan segalanya diatas bumi ini sebagai rejeki. Tak akan habis untuk dinikmati tanpa harus menggunakan cara-cara yang salah. Mengapa kita tidak yakin dan percaya pada Tuhan kita sendiri yang selalu disembah untuk menikmati rejeki yang ada, dan menggunakan cara yang tidak seharusnya? Haruslah selalu menggamba pada uang? Banyak orang menikmati kekayaannya yang didapat dengan menghamba pada kekuasaan dengan bersenang - senang diatas penderitaan yang lain. Mereka masih bisa menertawai kemiskinan orang lain yang hidup dalam kejujuran sebagai kebodohan, dan mengatakan kasihan. Sebenarnya siapa yang lebih kasihan dan lebih bodoh lagi?

Seperti Aristippos yang menertawakan temannya yang hanya bisa makan ubi, padahal ia tidak tahu walau hanya makan ubi, kalau dinikmati dengan hati yang bersyukur nikmatnya bisa mencapai langit ketujuh. Tetapi walau makan dengan makanan mewah tapi dengan hati yang palsu dan menggerutu, malah bisa bikin sakit perut dan timbul banyak penyakit. Hidup adalah pilihan, jalan mana yang mau dipilih adalah diri sendiri yang menentukan. Tiada jalan bagiku, aku harus memilih dengan ‘kebodohanku’ bukan dengan menggunakan kepintaranku yang penuh dalil dan pembenaran.

Semoga kesadaran ini tetap menyertaiku setelah mendapat pembelajaran dari kisah Diogenes ini!

EMANG DIOGENES DIREMEHKAN Oleh banyak orang , namun filsuf ini dalem banget perkataannya untuk sevagai renungan

Korupsi berakar kuat dari ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan hasrat pemenuhan kebutuhan dan keinginan hidup yang tidak terbatas, akhirnya menjelma menjadi malapetaka karena cara dan modus yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan unlimiter itu berubah menjadi tragedi sejarah. Penaklukan, penjarahan, pembantaian, perampokan, peperangan, penindasan, penipuan, suap, penghianatan, dan sejuta kata lainnya. Lalu apa sebenarnya tujuan kehidupan ini? Pertanyaan sentral yang menjadi titik kajian para filosof dan cendekia selama ribuan tahun untuk membongkar rahasia penciptaan.

Bukan sebuah kebetulan ketika pertanyaan ini menjadi fokus kajian, sebab jauh hari sebelum keluar maklumat Tuhan untuk menetapkan manusia sebagai perdana menterinya di muka bumi, para malaikat muqarrabun telah mengajukan petisi penolakan terhadap rencana tersebut. Salah satu novum yang diajukan adalah makhluk ini sangat ambisius, akan membuat kerusakan dan menimbulkan pertumpahan darah sesamanya di muka bumi. Sehingga kebijaksanaan manusia yang berikhtiar secara otonom untuk menjawab pertanyaan diatas secara tepat dan benar setidaknya mampu menjawab keragu-raguan malaikat sekaligus meneguhkan superioritas manusia sebagai makluk pilihan Tuhan dari seluruh penciptaannya.

Pada akhirnya rangkaian jejak peradaban manusia ternyata menempatkan manusia dipersimpangan, manakala trend sejarah yang diukir makin menguatkan keraguan dan kegelisahan malaikat dan makluk lainnya. Puluhan peradaban besar yang juga diikuti oleh ribuan peradaban kecil jatuh bangun dalam lintasan sejarah. Dan biang keroknya cuma satu, korupsi. Korupsi yang telah melembaga dengan berbagai bermacam modus operandi berubah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti pilar-pilar penyangga peradaban. Mulai dari Mesir Kuno, Mesopotamia, Persia, Yunani, Imperium Romawi, kekhalifahan Islam, Turki Utsmaniyah, Kekaisaran Tiongkok, Britania Raya jatuh dan tersapu waktu.

Mungkin manusia salah dalam membaca dan menafsirkan kembali pikiran Tuhan terkait eksistensinya di muka bumi. Apakah kehadiran manusia sekedar untuk menyembah-Nya? Bisa jadi dari sinilah bermula bencana itu. Sembah, kata yang sejatinya bermakna penyerahan diri secara totalitas dan universal berubah menjadi persembahan. Jadinya berkembang menjadi ritual yang dibumbui secara agung dan mahal. Hanya untuk menyembah dan melakukan ritual persembahan itu para penguasa membangun tempat-tempat ibadah yang megah dan kuat. Candi, sinagoga, piramida, kuil, istana yang dilengkapi dengan pilar emas, dinding perak dan lantai marmer. Bangunan ini dibangun dengan merampas hak-hak hidup rakyat berupa pajak dan upeti, tanaga kerja gratis, dan seribu penderitaan lainnya. Belum cukup sampai disitu, bahkan manusia sendiri dijadikan sebagai tumbal penyembahan. Secara tidak langsung manusia telah menjelma menjadi budak persembahan itu sendiri. Ali syariati telah mengkritik kondisi ini secara gamblang dalam nalar sejarah dan sosiologi islam.

Dalam konteks kehidupan modern, budaya itu tetap terpelihara meskipun dengan wajah yang tidak brutal. Manusia berlomba-lomba mengejar keinginan hidupnya meskipun harus mengorbankan hak-hak hidup orang lain. Kasus Gayus Tambunan seperti membuka kotak pandora republik ini tentang praktek-praktek kotor di ruang publik yang dibungkus oleh sandiwara gila bernama democrazy dengan aransemen sutradara para mafia hukum dan mafia pajak dan lebih gila lagi karena dibeking oleh oknum keparat penegak hukum. Tercapaikah tujuan hidup para koruptor dan mafia dengan tontonan sandiwara yang dibuat?

Menarik untuk menelaah percakapan antara Diogenes dengan Alexander the Great dari Macedonia ketika hendak menaklukkan India, Diogenes bertanya: akan kemanakah kamu Alexander? Saya akan menaklukan Asia Kecil. Dan setelah itu kamu akan kemana? Saya akan mencari daerah lain untuk saya taklukan. Diogenes tersenyum mendengar rencana besar Alexander, lalu melanjutkan pertanyaan. Sekembalinya dari menaklukan dunia, lalu apa yang akan kamu lakukan? Saya akan istirahat dan santai. Jawaban ini membuat Diogenes sangat histeris, lalu dipanggilnya anjing kesayangannya dan berkata…” apakah kamu sudah mendengar perkataan orang sinting ini? dia akan menaklukan dunia dan pulang untuk beristirahat dan santai. Sedangkan kita tidak pernah menaklukan dunia, tapi kita telah beristirahat dengan nyaman disini. "jika istirahat dan santai tujuan tertinggimu, mengapa kamu tidak ikut saja beristirahat bersama saya dan anjingku disini".

Pada akhirnya sampai abad inipun manusia belum pernah mampu menjawab dua pertanyaan sederhana diatas. Untuk apa ia diciptakan? dan apa yang dicari dalam kehidupan ini? Sebabnya adalah ia terjajah oleh keinginan hidupnya, jadinya menjadi monster penjajah kehidupan makhluk lain. Menjadi koruptor, contohnya.

Saya pribadi telah menemukan jawaban itu meskipun bisa berbeda dengan jawaban para pembaca. Kita diberi kehidupan untuk mengakhirinya dengan kematian. Kita berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Itulah kepastian yang telah ditetapkan. Sehebat apapun koruptor tidak akan mampu menghindari kematian karena tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian (kullunnafsin dza’ikatul maut). Jadi berhentilah menjadi koruptor dan berhentilah membohongi rakyat. Pada akhirnya hidup ini adalah pilihan, menjadi Diogenes atau Gayus Tambunan? Santai aja kali…..!!!


PINGIN NGERTI FILSUF YANG JAGO LAINNYA BACA DI SINI OK

No comments:

Post a Comment