Jaringan penting yang mengandung MAC meliputi:
- Paru-paru – makrofag alveoli
- Hepar- Sel Kupffer
- Sinusoid limpa – Sel RES
- Sinus medularis KGB – Sel dendritik
- Di seluruh membran basalis pembuluh darah
- Ginjal- Sel mesangial
- Kulit- Sel Langerhans
- Otak – Sel mikroglia
- Tulang – Osteoklast
- Jaringan Konektif – Skitosit, sel raksasa (giant cell) atau sel epiteloid
- Sel polimorfonuklear/neutrofil
- Sel polimorfonuklear/neutrofil Mengandung dua tipe granul utama:
- Granul azurofilik primer
- Mieloperoksidase
- Defensin
- Katepsin G
- Granul spesifik sekunder
- Laktoferin
- Lisozim (Sears dkk. 2012:158 – 159 )
Mediator inflamasi
- Mediator inflamasi dilepaskan oleh basofil, sel mast dan eosinofil.
- Interleukin (IL)-1,IL-6, tumor necrosisi factor (TNF
- Menimbulkan demam.
- Banyak mikroorganisme telah beradaptasi untuk pertumbuhan optimal pada suhu tubuh
- Dengan demikian, peningkatan suhu tubuh dapat menghambat sebagian pertumbuhan
- Juga meningkatkan pelekatan leukosit, bekerja sebagai prokoagulan dan menginduksi proliferasi fibroblast.
- Interferon – protein ini menempatkan sel-sel yang tidak terinfeksi dalam status antivirus dan menginduksi produksi protein yang menghambat sistesis protein virus.
- Menginduksi aktifitass DNAse dan RNAse intrasel yang secara enzimatik
- Juga menstimulasi aktifitas fagositik sel NK (Sears dkk. 2012:159 – 160 )
Sel-sel Natural Killer Sel-sel natural killer (NK)menyebabkan destruksi nonspesifik sel-sel terinfeksi virus dan sel-sel tumor ganas dengan menyekresikan sitoksin dan apoptosis yang mengikat ligant Fas-Fas. Reseptor NK meliputi:
1. Killer activating receptor- mengenali sejumlah molekul berbeda yang terdapat pada permukaan semua sel berinti. Jika reseptor ini ditempati, suatu sinyal dikirimkan kepada sel NK untuk dihancurkan sel tersebut.
a. Dalam sel normal, sinyal ini dibatasi oleh sinyal inhibisi yang dikrim oleh killer inhibitory reseptor setelah pengenalan molekul MHC kelas I.
b. Jika suatu sel terinfeksi oleh mikroorganisme atau jika sel berubah menjadi sel ganas, molekul MHC I akan hilang dan keadaan ini menginformasikan sel NK untuk menghancurkan sel tersebut.
c. Sel-selNK dimobilisasi oleh sitokin IL-12 dan gama interferon
2. Reseptor Fc sel NK – Mengikat igG )FcNKCR; Fc Natural Killer Receptors).
Sel-sel ini kemudian dibunuh oleh sitotoksitas seluler bergantung antibodi (imunitas didapat). (Sears dkk. 2012:160 )
Kaskade komplemen
Sistem komplemen merupakan sekelompok protein serum yang menhasilakan molekul efektor yang terlibat dalam proses inflamasi (C3a, C5a), fagositosis (C3b) dan lisis sel (C5b-9). Proses ini, secara bersama-sama membentuk perthanna penting terhadap mikroorganisme khusunya bakteri gram- negatif. (Sears dkk. 2012:160 )
Kaskade komplemen diaktifkan oleh tiga mekanisme yang berbeda.
1. Jalur klasik- Kompleks antibodi- Antigen (Respons imun didapat).
Jalur ini dimulai dengan pengikatan antibodi IgG dan IgM yang spesifik pada antigen permukaan yang selanjutnya dikenali oleh komponen C1 yang bergantung – kalsium.
C1 yang aktif menyerang C2 dan C4
C2 yang diserang terpecah menjadi fragmen kecil (C2b) dan besar (C2a) sementara C4 juga terpecah menjadi fragmen kecil (C4a dan besar C4b)
· C4b dan C2a bergabung dan melekat pada kompleks antigen – antibodi, membentuk konvertase C3.
Konvertase C3 mencegah C3 menjadi fragmen kecil (C3a) dan besar (C3b). Sebagian C3b diendapkan pada membran, bekerja sebagia tempat pelekatan untuk sel polimovagositik dan MAC, Sementara sebagian lagi tetap terkait dengan C4b dan C2a membentuk konvertase C5.
· Konvertase C5 memecah C5 menjadi C5a (kecil) yang bergabung dengan C3a untuk menginduksi respon inflamasi (bekerja dalam sel mast, polimor dan otot polos) ; dan C5b (besar) yang memulai perakitan C6-9 dan kompleks menyerang membran (membran attack kompleks).
2. Jalur akternatif –diaktifkan oleh toksin, dinding sel mikroba dan IgA (respons imun bawaan).
Jalur ini dimulai oleh berbagai toksin dan polisakarida dan sebagian antibodi (IgG) tanpa antibodi molikul yang secara alami merupakan karbohidrat atau lipit, terasuk manosa dan lipopolisakarida (LPS) mikroba, dapat mengaktifkan sistem komplemen. Jalur ini tidak bergantung pada ion kalisum, komponen C1, C2 atau C4 (jalur klasik bergantung pada semua komponen ini).
Jalur alternatif memulai konfersi C3 dengan produk bakteri atau IgG dan menghasilkan kompleks faktor B dengan C3b, memproduksi enzim konfertase C3bBb aktif.
Properdin menstabilkan kompleks C3b – B sehingga memungkinkan konfersi C3 dan aktifasi enzim konsfertase C5 selanjutnya. Jalur ini kemudian diikuti oleh pembentukan membran attack komplek.
3. Jalur lisis- mengakibatkan lisis langsung membran sel bakteri mnghasilkan kebocoran komponen intrasel dan kematian sel.
Dimuali dengan pemeriksaan C5 oleh enzim konfertase (klasik: C3b – C2a- C4b; atau alternatif : faktor –C3b properdin- Bb)
Komponen C6 – C8 serum menyatu dengan sepuluh atau lebih molekul C9 membentuk membran attack komplek yang menyusun ke dalam membran sel bakteri menimbulkan lisis sel. (Sears dkk. 2012:160 – 161 )
Respons Fase-akut
Respon fase akut adalah pertahanan tubuh bawaann yang terlihat saat menderita penyakit akut. Keberadaan benda asing didalam tubuh atau kerusakan jaringan akan memprofokasi respon inflamasi propektif (inflamasi akut) yang mengakibatkan :
Peningkatan aliran darah,
Peningkatan permebilitas kapiler pada lokasi cedera yang menungkinkan sel-sel darah limafatik dan komponen serum masuk kejaringan yang sakit.
Respon ini secaraklinis ditandai oleh gejala bengkak, merah, panas dan nyeri pada tempat infeksi. Sel-sel pertama yang tiba ditempat cedera (neutrofil dan makrofrag) mnyekresikan sejumlah molekul protei, yang disebut sitokin, kedalam aliran darah; molekul sitokil ini berfungsi untuk merekrut sel-sel lainnya dan menghentikan inflasi yang akan terjadi. (Sears dkk. 2012:161)
Macam – macam sitoksin yang terpenting :
o Diskresikan oleh makrofag
o Mengaktifkan limfosit- T dan –B, neutrofil dan fibroblast.
IL- 6
o Diskresikan oleh sel T dan makrofag
o Menginduksi produksi protein fase akut oleh hati
TNF – alfa
o Dilepaskan oleh makrofag
o Juga dikenal dengan nama cachectin.
o Menstimulasi respons fase akut didalam hati. (Sears dkk. 2012: 162)
Sitoksin yang bersirkulasi ini menimbulkan respon pada organ multipel:
1. Hati – merespon sitoksin yang bersirkulasi (IL-6) dengan mmproduksi sejumlah besar protein (protein fase akut). Protein ini diproduksi untuk menghadapi invasi mikroorganisme maupun bentuk-bentuk kerusakan jaringan lainnya:
Protein C- reaktif
oGlobulin pentamer yang kadarnya meningkat secara dramatis dalam berapa jam setelah kerusakan jaringan atau infeksi.
oMengikat fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan sel dibanyak bakteri, memfiksasi komplemen dan menginduksi fagositosis.
Menginduksi pelepasan sitoksin dan faktor jaringan (tissue factor) pada monosit.(Sears dkk. 2012.: 162)
Protein pengikat manosa (mannosa –binding protein)
mengikat permukaan bakteri dan meningkatkan aktivasi jalur komplemen alternatif. (Sears dkk. 2012: 162)
Faktor koagulasi- fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor von Willebrand, plasminogen.
Faktor komplemen
1. Sumsum Tulang- menstimulasi produksi colony- stimulating factor (CSF) sehingga terjadi leukositosis.
2. Hipotalamus- sitoksin perifer dapat bekerja pada hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh sehingga terjadi demam.
3. Lemak dan otot – sitoksin meningkat mobilisasi simpanan energi untuk menaikkan suhu tubuh.
4. Mobilisasi sel T – sel T memperantarai berbagai reaksi, meliputi:
a. Destruksi sitotoksik bakteri dan sel- sel yang terinfeksi virus.
b. Aktivasi mkrofag
c. Hipersensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity).
d. Juga membantu sel- B memproduksi antibodi terhadap banyak antigen.
5. (Sears dkk. 2012: 162-163)
1. Mobilisasi sel-B- produksi IL4 dan IL5 oleh sel T helper yang aktif akan menghidupkan atau mengaktifkan selB yang memproduksi antibodi. Imunoglobulin melindungi dari mikroorganisme melalui beberapa mekanisme, yaitu:
1. Menetralkan toksin
2. Lisis bakteri dengan adanya komplemen
3. Opsonisasi bakteri memfasilitasi fagisitosis
4. Mengganggu pelekatan bakteri dan virus pada permukaan sel. (Sears dkk. 2012:163)
IMUNITAS ADAPTIF
Imunitas adaptif terdiri dari unsur-unsur seluler dan humoral yang merespon stimulus spesifik. Imunitas ini mengakibatkan terbentuknya memori hospes yang memungkinkan pengenalan lebih cepat dan respons imun berikutnya yang lebih kuat ketika menghadapi mikroorganisme (respon sekunder). (Sears dkk. 2012:163)
A. Imunitas Seluler
Imunitas seluler (cell mediated immunity; CMI) adalah respon imun yang meliputi aktivasi makrofag, produksi limfosit –T sititoksik yang spesifik –antigen dan pelepasan berbagai sitokin sebagai respon terhadap suatu antigen.
- Bakteri memasuki tubuh dan dimakan oleh makrofag.
- Bakteri tersebut diecah dan fragmennya, yang disebut antigen atau epitep, diekspresikan pada permukaan makrofag bersama protein MHC kelas II.
- Antigen dan protein MHC kelas II berinteraksi dengan reseptor spesifik antigen pada permukaan limfosit –T CD4.
- Interleukin IL-1 dan IL-2 menyebabkan aktivasi sel-T helper dan proliferasi klonal sel-T helper yang spesifik –antigen ini.
- Secara bersama-sama, limfosit –T dan makrofag menghancurkan agen yang menyerang tubuh.
Dalam sel yang terinfeksi virus atau sel yang terinfeksi patogen intrasel, sel-sel yang terinfeksi tersebut mengekspresikan epitopnya dengan protein MHC kelas I. Sel –T sitotoksik akan mmbunuh setiap sel yang permukaannya mereka kenali memiliki kombinasi yang sama dengan antigen MHC kelas I plus virus. (Sears dkk. 2012:163)
B. Imunitas Humoral
Imunitas humoral menunjukkan respon imun yang diperantarai antibodi. Imunitas humoral ditujukan untuk penyakit yang menginduksi pembentukan toksin, infeksi oleh mikroorganisme dengan kapsul polisakarida (pneumokokus, meningokokus, H. Influenzae) dan infeksi virus tertentu. (Sears dkk. 2012:163)
Antibodi berfungsi lewat tiga mekanisme penting.
1. Menetralkan toksin dan virus – mengikat dan mencegah pelekatan.
2. Mengopsonisasi mikroorganisme – menyebabkan fagositosis mokroorganisme menjadi lebih baik lagi.
3. Aktivasi komplemen – mengaktifkan opsonisasi yang diperkuat komplemen dan lisis. (Sears dkk. 2012: :164-165)
B. IMUNOLOGI
I. IMUNITAS BERBAHAYA
Kemampuan sistem imun normal untuk bertahan terhadap infeksi bergantung pada pengenalan (recognition) dan memori terhadap sejumlah besar antigen, juga pada mekanisme nonspesifik yang kuat untuk memobilsasi dan mengeliminasi mikroba. Pada situasi tertentu, fungsi alami yang penting Ini dapat bekerja terhadap diri hospens sendiri mengakibatkan reaksi imunopatologis. (Sears dkk. 2012: 167)
A. Autoimunitas : Autoantibodi dan Kelainan Reumatoid
Autoimunitas mengacu kepada hilangnya tolersansi terhadap diri sendiri. Banyak diantara penyakit ini menstimulasi sel-B self – reactive sehingga timbul autoantibodi spesifik yang dapat terdeteksi secara klinis dan membantu dalam diagnosis dan tatalaksana. (Sears dkk. 2012:167)
B. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas mengacu pada respons imun yang berlebihan yang menimbulkan kerusakan jaringan atau organ.
Tipe I- Hipersensitivitas akut (alergi, anafilaksis, segera)
o Tipe I memerlukan dua pajanan dengan antigen/ alergen spesifik yang sama.
1. Pajanan pertama menimbulkan sensitisasi dan produksi antibodi IgE di dalam darah, yang berikatan dengan reseptor pada sel mast dan atau basofil.
2. Pajanan kedua dengan alergen mengakibatkan alergen – IgE pada permukaan sel mast dan atau basofil sehingga terjadi granulasi dan pelepasan granual basofilik yang mengandung histamin dan amin vasoaktif lainnya. Keadaan ini pada akhirnya mengakibatkan reaksi lokal (alergi) atau reaksi sistemik (anafilaksis) yang bersifat segera.
o Contoh- contoh tipe I:
- Anafilaksis sistemik
- Rhinitis alergi dan asma
- Dermatitis atopik
- Alergi penisilin
- Alergi makanan (misalnya, kacang tanah, kerang- kerangan)
- Urtika dan peradangan lokal. (Sears dkk. 2012: 169)
· Tipe II- Hipersensitivitas sitotoksis (bergantung antibodi)
o Pada saat respon imun, antibodi yang terbentuk dapat mengenali dan menyerang komponen molekuler hospens pada permukaan sel dan jaringan melalui salah satu diantara dua cara berikut ini:
1. Pengenalan langsung molekul pada permukaan sel hospes yang terpajan akibat cedera yang secara normal tidak terlihat oleh sistem imun dan dengan demikian bersifat imunogenik.
2. Nonantigen ekstrinsik diserap ke permukaan sel hospes. Ketika sistem imun menyerang antigen pada permukaan sel, serangan ini menimbulkan destruksi antigen, demikian pula pada jaringan tempat antigen tersebut terikat.
o Mediasi terjadi lewat IgE atau IgM yang terikat dengan Ag pada jaringan sehingga mengakibatkan aktivasi pengendapan komplemen jalur klasik dan produksi mediator inflamasi multipel ditempat ini.
o Hasil akhirnya adalah kematian sel dan lisis yang terjadi karena produksi membrane attack complexes dan fagositosis sesudah opsonisasi pada permukaan jaringan hospes.
o Contoh –contoh tipe II:
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik terinduksi obat (misalnya metildopa)
- Eritroblastosis fetalis – Ibu Rh-negatif melahirkan bayi Rh-positif. Pada kehamilan berikutnya antibodi IgG dapat melintasi plasenta dan menghancurkan sel-sel janin.
- Reaksi transfusi
- Miastenia gravis
- Penyakit Goodpasture
- Panyakit Grave
- Reaksi cangkok hiperakut. (Sears dkk. 2012: 167)
· Tipe III – Hipersensitivitas kompleks imun
o Terjadi karena antigen berlebihan yang setelah beberapa waktu akan berikatan dengan antibodi membentuk kompleks imun yang larut.
o Ketika jumlah kompleks imun yang larut (Ag – Ab) didalam darah meningkat hingga mencapai kadar yang membuatnya tidak larut lagi,
kompleksnimun tersebut mulai mengendap didalam jaringan, memicu aktivasi komplemen.
o Komplemen yang aktif, bersama dengan kompleks Ag-Ab, mengakibatkan degranulasi neutrofil enzim dan stimulasi makrofag untuk melepaskan sitokin, reactive oxygen intermediates, dan nitrit oksida sehingga mnimbulkan destruksi sel dan kerusakan jaringan.
o Contoh-contoh tipe III:
- Serum sickness
- Netrifis atau vaskulitis SLE
- Glomerulonefritis kompleks imun
- Reaksi Arthus. (Sears dkk. 2012: 170)
Tipe IV- Hipersensitivitas yang diperantarai sel (tipe lambat)
o Reaksi yang diperantarai hapten yang memerlukan sensitisasi. Sesudah pajanan ulang antigen, sebuah APC (biasanya makrofag) akan mengambil antigen tersebut dan memprosesnya pada molekul MHC-I atau MHC- II seraya melepaskan IL-12 yang mengakibatkan proliferasi sel T helper.
o Sel T memori yang tersensitisasi, bisa berupa ThI CD4+ (antigen intasel) atau sel T sitotoksik CD8+ (antigen ekstrasel ), akan memulai reaksi:
§ Aktivasi sel ThI tersensitisasi melepaskan IFN g yang menimbulkan aktivasi makrofag dan aktivasi ThI lebih lanjut; dan IL-2 yang meningkatkan proliferasi selT.
§ Aktivasi selT sitotoksis tersensitivasi menyebabkan destruksi langsung sel target (penolakan alograf).
o Hasil akhir adalah respons imun yang diperantarai sel yang ditimbulkan oleh makrofag.
§ Makrofag yang teraktivasi memperlihatkan peningkatan aktivitas fagositik, bakteriosidal dan sitosidal.
§ Jika reaksi tersebut disebabkan oleh infeksi mokroorganisme intrasel yang kronik, respons DTH( delayed type hypersensitivity) dapat memanjang, mengakibatkan perubahan makrofag menjadi epiteloid dan sel raksasa berinti banyak, yang merupakan ciri khas reaksi granuloma.
o Contoh type IV:
- Penyakit granuloma – tuberkolosis, sarkoidosis, lepra
- Tes PPD – tes mantoux/ tes TB pada kulit
- Penyakit graf versus hospes
- Dematitis kontak- poison ivy, reaksi eksema
- Penolakan cangkok organ allograft. (Sears dkk. 2012: 170-171)
C. Penolakan Cangkok
Tipe-tipe penolakan cangkok dapat dibagi sebagai berikut:
o Penolakan hiperakut (segera)- karena ketidakcocokan ABO/ antibodi HLA yang sudah ada sebelumnya didalan tubuh resipien cangkok.
- Terjadi dalam beberapa menit sesudah transplantasi
- Antibodi yang sudah ada sebelumnya melekat pada dan merusak sel-sel endotel organ donor menyebabkan oklusi pembuluh darah.
o Penolakan akut- suatu respon yang diperantarai imun. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini terjadi akibat sel-T sitotoksik yang bereaksi terhadap MHC asing.
§ Terjadi dalam beberapa minggu seseudah transplantasi
o Penolakan kronis- kerusakan vaskuler yang terjadi disebabkan oleh antibodi. Tipe penolakan bersifat ireversibel.
§ Terjadi dalam beberapa bulan hingga beberapa tahun sesudah transplantasi. (Sears dkk. 2012: 171)
o GVHD – jika sel-T donor yang kompeten dipindahkan pada resipen yang HLA- inkompatibel, sel T yang dicangkokkan itu dapat mengenali dan menyerang antigen hospes.
§ Pasien GVHD akan mengalami ruam, iktrus, diare, ulserasi dan pembentukan jaringan parut pada mukosa oral yang berat, dan hepatosplenomegali. (Sears dkk. 2012: 172)
II. IMUNODEFISIENSI
Kelainan imunodefisiensi lebih sering ditemukan sebagai penyakit sekunder akibat obat-obatan, malnutrisi atau infeksi, namun dapat pula disebabkan oleh kelainan genetic. Kelainan imunodefisiensi primer dikategorikan berdasarkan tipe sel imunologik yang mengalami defisiensi. (Sears dkk. 2012:172)
A. Defek yang Mengenai Lebih Dari satu Tipe Sel
· Telangiektasia ataksia – Defesiensi sel-T dan IgA yang terjadi akibat ganguan perbaikan DNA.
o Menyebabkan defek pada otak dan kulit
o Manifestasinya sering ditemukan pada anak berusia 5 hingga 10 tahun dengan spider nevi pada kulit, yang bergerak dengan ‘canggung’ dan memiliki defisiensi IgA. (Sears dkk. 2012: 172)
· Disgenesis retikuler – Kegagalan total sel puca
o Pasien meninggal segera sesudah dilahirkan.
· Severce combined immunodeficiency (SCID) – Defek terjadi pada sel-T maupun sel-B. sebagian kasus terkait-kromosom X, sementara sebagian lainnya terjadi akibat defisiensi adenosine deaminase (autosomal resesif) atau akibat kegagalan dalam menyintesis antigen MHC kelas II atau reseptor L – 2.
o Pasien ditemukan dengan infeksi virus, bakteri, jamur, atau protozoa yang kambuhan (rekuren).
Sindrom Wiskott – Aldrich –ditandai oleh defek pada protein yang mengatur funsi sitoskeleton sehingga terjadi defisiensi sel-B dan sel-T.
o Pasien ini mengalami eksema, defisiensi trombosit dan defesiensi respons antibody terhadap polisakarida kapsuler. (Sears dkk. 2012: 172)
B. Defek yang Mengenai Sel-T
Defek Sitokin – Pada dasarnya disebabkan oleh defek pada reseptor sitokin, hal ini meliputi sitokin IL-2 dan IL-2 yang membatasi respons sel Th 1. Defek ini sangat jarang terjadi.
· Sindrom Di George – Ketiadaan kelenjar timus (aplasia timus) dan kelejar paratiroid akibat kegagalan perkembangan kantong faring ketiga dan keempat.
o Pasien ditemukan dengan gejala hipokalsemia (tetani) karena tidak adanya kelenjar paratiroid, atau kelenjar infeksi virus, fungsi atau protozoa yang rekuren akibat defisiasi sel-T, juga ditemukan malformasi wajah, esophagus dan jantung lainnya.
Defisiensi purin nucleoside phosphorylase (PNP) –PNP merupakan enzim penyelamat dalam sel-T, dan apabila terjadi defisiensi, keadaan ini menyebabkan penumpukan nukleosida dan kerusakan sel-T. (Sears dkk. 2012: 172)
C. Defek yang Mengenai Sel B
· Agamaglobulinemia Bruton dan variable – Tipe Bruton ditandai oleh tidak adanya sel-B sama sekali, sementara tipe variable disebabkan ketidakmampuan sel-B untuk berdiferensiasu menjadi sel plasma atau untuk membuat satu kelas immunoglobulin (paling sering IgA ; pusat germinal mungkin tidak ada).
o Bruton merupakan penyakit terkait-kromosom X yang ditandai oleh infeksi bakteri piogenik yang rekuren (otitis media, sinusitis, pneumonia karena H. Influenzae dan S.pneumoniae) pada bayi.
· Imunodefesiasi Hiper IgM – terjadi karena ketidakmampuan untuk mengubah sel B yang memproduksi IgM menjadi sel-B memproduksi IgA, IgG dan IgE.
o Pemeriksaan serologi akan menunjukan kenaikan kadar IgM yang tinggi dengan kadar semua antibody lainnya yang rendah.
· Defisiensi subkelas IgG – kadar IgG yang rendah mengakibatkan otitis media rekuren, meningitis bakterialis dan infeksi paru kronik. Defesiensi IgA merupakan defesiensi subkelas tersering dan dapat menimbulkan infeksi sinus dan paru-paru. (Sears dkk. 2012: 172-173)
D. Defek yang Mengenai Sel Mieloid
Sindrom Chediak – Higashi – Sel-sel mieloid polimorfik mengandung granul yang besar, tetapi tidak mampu membentuk fagolisosom dengan baik. Dapat pula terjadi gangguan respons terhadap kemotaksis.
o Penyakit autosomal – resesif yang mengakibatkan infeksi piogenik rekuren oleh spesies streptokokus dan stafilokokus. Infeksi dapat memicu fase akselerasi proliferasi sel-T persisten yang mungkin memerlukan pencangkokan sumsum tulang.
Penyakit granulomatosa kronik (CGD ; chronic granulomatous disease) – Defek yang terkait – kromosom X pada jalur pemecahan oksigen yang melibatkan sitokrom dan defisiensi aktivitas NAPDPH oksidase sehingga kemampuan fagositosis neutrofil berkurang.
o Ditandai oleh infeksi kronik dengan bakteri yang tidak memproduksi peroksida (katalase +) termasuk S aureus dan E.coli ; juga jamur.
Sindrom Job – Terjadi karena kemotaksis neutrofil yang buruk.
o Pasien ditemukan dengan abses stafilokokus rekuren.