Bos Besar Saja Bawa Ompreng/Bontot, Kok Kamu Gengsi?
Oleh : Miftah
Postingan Ini saya ambil karena saya paling nggak suka
dengan orang orang yang Jaim ....maksudnya supaya orang orang ini menjadi
berkurang di bumi hehe
Waktu istirahat telah tiba, penulis mengamati dari
kejauhan satu per satu karyawan mulai menutup layar laptop lalu membuka tas
yang dibawanya, sejurus kemudian mereka mengeluarkan barang bawaan pribadi
berupa ompreng berisi makanan berat. Ya, ompreng adalah barang umum yang setiap
saat penulis lihat ketika jam dinding menunjukkan angka 12.00. Pemandangan ini
bisa kita saksikan di gedung Eguity Tower Jakarta lantai 19 tempat di mana
penulis melakukan aktivitas kerja, yaitu di perusahaan pertambangan nikel
dengan wilayah orasi penambangannya di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat dan
mayoritas karyawan di sini bermukim di daerah khusus ibukota dengan sebagian
besar staffnya memeluk agama Nasrani.
Suasana Pantry di Kantor Penulis
Agama bukan satu penghalang untuk kami berkarya dan
merajut keakraban. Karena situasi di sini sangat plural. Sesama karyawaan di
perusahaan penulis begitu guyub (kompak) dan mengedepankan semangat
kekeluargaan serta toleransi satu sama lain. Setiap menjelang hari raya lebaran
misalnya, di kantor penulis selalu mengadakan acara seremonial buka puasa
bersama yang diprakarsai oleh keluarga besar sahabat Nasrani. Termasuk hari
ulang tahun, dengan uang pribadinya, bos kami sering mengadakan acara
kecil-kecilan berupa makan bersama, dari level OB sampai Top Level. Suasana
hati terasa begitu teduh ketika penulis berada di tengah-tengah mereka.
Suasana makan siang di pantry kantor (yang pake kemeja
merah maroon direktur utama)
Di titik ini penulis tidak akan mengulas terlalu dalam
bagaimana suasana hubungan kerja seputaran kantor, karena sedari awal sudah
dijelaskan kalau di perusahaan kami, antara satu karyawan dengan karyawan lain
begitu kompak dan suasananya sangat humanis. Namun pada kesempatan kali ini
penulis hendak mengupas tentang budaya membawa ompreng dan makan bersama di pantry
kantor yang dilakukan oleh sebagian besar karyawan, termasuk di antaranya
adalah Bapak Dirut perusahaan dan Manager Keuangan. Yah, direktur utama
perusahaan di kantor penulis sering membawa ompreng demi memenuhi kebutuhan
makan siang setiap jam istirahat kerja.
Adalah hal unik pemandangan ini penulis temukan. Dulu
saat masih bekerja di salah satu HOTEL bintang lima dan pabrik berskala
nasional di Kota Bogor, untuk urusan makan siang, di sana sudah disediakan
pihak perusahaan dengan jasa kateringnya. Sehingga para karyawan tidak harus
makan siang di luar. Atas kebijakan itu, tidak sedikit pula para karyawan
memilih untuk makan di luar dan rela merogoh uang pribadinya dengan alasan
suasana yang monoton dan menu makan yang tersedia kurang menggugah selera.
Sejenak penulis menengok sahabat karyawan yang bekerja di perusahaan sejenis
BUMD, kantor pemerintah (PNS), pabrik swasta dan para SPG. Dari amatan penulis,
karena ketidaktersediaan makan siang di kantor mereka, banyak di antara
karyawan memilih makan di luar kantor dan warteg menjadi pilihan utama.
Kesimpulan
Di zaman yang serbamahal seperti sekarang ini, bagi
penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai staff biasa, hidup hemat, terukur
dan sedikit perhitungan adalah jalan terbaik untuk melangsungkan kehidupan.
Membawa ompreng ke tempat kerja merupakan solusi cerdas demi menekan
pengeluaran pascanaiknya harga sembilan bahan makanan pokok sebagai efek dari
kenaikan BBM. Mari kita bandingkan, uang 35 ribu kalau digunakan untuk belanja
kebutuhan makan di rumah, seperti yang penulis lakukan saat ini, ternyata bisa
cukup menghidupi sampai 3 kepala (saya, istri, dan anak). Harga makan siang di
kota besar seperti Jakarta, rata-rata kalau kita mau makan sesuai selera harus
merogoh uang sebesar lima belas sampai dua puluh lima ribu rupiah untuk satu
porsi makan. Dengan membawa ompreng ke tempat kerja, kita bisa meminimalisasi
biaya konsumsi dan sisanya bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lain.
Bagi yang ngompreng ini hadiahnya YE