Istilah enzim mulai diperkenalkan pertama kali tahun 1878 oleh Kuhne sedangkan konsep kerja enzim dikembangkan oleh Emil Fischer di tahun 1894 yang mempopulerkan fenomena "gembok dan kunci" untuk menjelaskan interaksi substrat enzim.
Tahun-tahun selanjutnya mulai ditemukan / dikristalisasi berbagai enzim seperti urease, pepsin, tripsin, chymotrypsin, dll.
Enzim adalah biokatalis yang dihasilkan oleh sel-sel hidup untuk ikut serta dalam reaksi- reaksi biokimia.
Tanpa bantuan enzim maka reaksi-reaksi bio kimia akan berjalan lambat, dan membutuhkan suhu atau tekanan yang ekstrem.
Enzim akan mempercepat jalannya reaksi kimia tanpa ikut hadir dalam produk akhir reaksi tersebut.
Reaksi antara enzime dan substrat akan membentuk kompleks enzim substrat, yang selanjutnya akan berpisah menjadi enzim dan produk.
Hidrolisis merupakan jenis reaksi katalis enzim.
Enzim biasa dibedakan atas 2 klasifikasi yaitu enzim endogenus dan eksogenus, berkaitan dengan cara enzim menyerang molekul substrat.
Enzim endogenus menyerang substrat pada ikatan interior
Enzim eksogenus mendekati substrat dari satu atau ujung luar yang lain.
Gambar 1. Reaksi Enzim dan Substrat
Sumber : Pugh, R and Chalfont D, The Scope for Enzymes in Commercial Feed Formulations. In Asia Pacific Lecture 1993 Alltech.
Belakangan enzim mulai dipergunakan secara meluas untuk tujuan-tujuan industri mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang nyata dibandingkan apabila metoda prosesing dilakukan dengan cara kimia maupun fisika.
Enzim akan bekerja optimal pada kondisi menengah misalnya pada suhu moderat dan kisaran pH yang luas.
Keuntungan lain adalah bahwa enzim bersifat tidak beracun, alami dan segera menjadi tidak aktif apabila reaksi sudah mencapai titik yang dikehendaki.
Produksi keju dalam industri susu misalnya menggunakan enzim rennin yang berasal dari bakteri yang terdapat pada hewan.
Dalam industri pakan ternak, enzim protease, amylase, lipase, phytase berpeluang untuk digunakan dalam produksi pakan babi fase starter.
Pengempukan daging bahkan sudah biasa menggunakan enzim protease.
Enzime eksogenus lebih banyak digunakan sebagai bahan tambahan (suplement) dalam pakan unggas untuk memperbaiki pencernaan karbohidrat.
Dalam banyak hal, penambahan enzim ke dalam pakan unggas bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan nilai kecernaan dari bahan baku tertentu yang dalam kondisi normal mempunyai kendala untuk tingkat penggunaan yang lebih tinggi.
Sebagai produk manufakturing ada enzim yang bekerja spesifik terhadap wheat, rice bran ataupun lemak nabati / hewani.
Enzim lipase misalnya bekeja meningkatkan konversi terhadap besaran true metabolisable energy (TME) dari lemak hewan dan crude palm oil (CPO).
Penggunaan enzim lipase terutama akan memberikan efek nyata pada ayam muda yangsistem enzimnya belum berkembang sempurna sehingga kurang efisien dalam memanfaatkan asam-asam lemak jenuh (asam stearat dan palmitat) dan juga tidak efisienmencerna sumber-sumber lemak yang kaya kandungan asam lemak bebas (FFA).
Enzim yang ditambahkan sebagai suplemen membantu menurunkan viskositas gel dalam saluran pencernaan, memperbaiki jalan masuk enzim endogenus kepada cadangan-cadangan nutrisi, dan membebaskan nutrisi-nutrisi yang terperangkap seperti gula sederhana dan lysine.
Pada ayam muda, laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan berlangsung cepat (biasanya 4 jam) dan sebaliknya pada ayam dewasa.
Gel akan meningkatkan viskositas usus dan mengurangi efisiensi pencernaan dengan memperlambat laju difusi enzim endogenus untuk bereaksi dengan substrat dan nutrisi serta menempatkan penyerapan dalam vili di dinding usus halus.
Enzim dapat memperbaiki tingkat kecernaan non starch polysaccharides (NSP) seperti selulosa dan pektin yang tidak mudah tercerna oleh enzim-enzim pencernaan.
NSP (beta glucans dan pentosan) juga diketahui memerangkap banyak nutrisi-nutrisi penting dalam sel-sel tumbuhan dan bagian-bagian terlarutnya menyebabkan peningkatan viskositas saluran pencernaan dalam usus yang mengurangi efektivitas enzim endogenus dan memperlambat pergerakan bahan makanan di saluran pencernaan.
NSP lajim terdapat dalam bahan baku sumber protein nabati seperti bungkil kedele, rape seed meal, sunflower meal dll.
Pakan unggas kaya protein yang banyak menggantungkan suplai proteinnya pada sumber-sumber nabati bisa saja memberikan pengaruh konversi yang kurang menggembirakan atau berdampak pada penampilan ayam yang di bawah standar.
Penambahan enzim diharapkan dapat memperbaiki kecernaan NSP yang sekaligus juga meningkatkan daya cerna protein.
Tabel 1. Kadar NSP dalam Bahan Baku Pakan
Bahan Baku
% NSP (Bahan Kering)
Kecernaan (%)
Wheat
10
12
Barley
15
14
Soyabean Meal 48 %
20
0
Peas
22
18
Beans
23
19
Rice Bran
25
3
Sunflower Meal
28
17
Grass Meal
28
5
Maize Gluten (20 %)
31
17
Wheat Feed
34
9
Sumber : Pugh, R and C. Drive. The Scope for Enzymes in Commercial Feed Formulations. In Alltech's Asia Pacific Lecture. 1993
Pada prinsipnya penambahan enzim dalam pakan bertujuan untuk menyingkirkan faktor anti nutrisi yang lazim terdapat dalam bahan baku asal tanaman.
Peranan anti nutrisi dalam bentuk menghambat pencernaan nutrisi yang mengarah pada menurunnya enerji metabolis bahan, pertumbuhan yang rendah, konversi pakan yang buruk, kotoran basah yang menghasilkan telur-telur yang kotor dan masalah litter.
Tujuan lain adalah untuk meningkatkan daya cerna bahan, membuat nutrisi-nutrisi tertentu secara biologis lebih tersedia, dan mengurangi dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh kotoran unggas (ayam).
Enzime phytase banyak dikenal dapat menghilangkan pengaruh anti nutrisi asam phitat.
Penggunaan enzime phytase (dikembangkan dari Aspergillus niger) dalam pakan akan mengurangi keharusan penambahan sumber-sumber fosfor anorganik mengingat fosfor asal bahan baku tumbuhan terikat dalam asam phitat yang mengurangi ketersediaannya dalam pakan. Padahal suplementasi fosfor anorganik misalnya mengandalkan di calcium phosphate maupun mono calcium phosphate relatif mahal belakangan ini.
Di samping itu, fosfor yang terikat dalam asam phitat yang tidak bisa dicerna sempurna oleh sistem pencernaan hewan monogastrik akan ikut dalam feses dan menjadi sumber polutan yang berpotensi mencemari tanah.
Fosfor adalah tidak terurai dalam tanah sehingga dalam jangka panjang, pembuangan feses dengan kandungan fosfor tinggi akan menimbulkan masalah bagi tanah.