Hari Raya Idul Adha kita kembali diingatkan pada sebuah
kisah luar biasa tentang keimanan, kesabaran dan ketaatan seorang Nabi Ibrahim
A.S yang demi perintah Rabbnya rela mengorbankan anaknya Ismail.
Kisah ini berawal dari kerisauan Nabi Ibrahim A.S yang
setelah menikah dengan Sarah belum juga dikaruniai keturunan hingga akhirnya
Sarah mengizinkan Nabi Ibrahim A.S untuk menikahi Siti Hajar. Nabi Ibrahim A.S
pun berdoa dan memohon kepada Allah agar beliau diberi kepercayaan untuk
memiliki seorang putra dan Allah pun mengabulkan doanya hingga akhirnya
lahirlah seorang bayi laki-laki dari kandungan Siti Hajar. Kehadiran Ismail
membuat cemburu Sarah yang merasa Ibrahim A.S lebih sering berdekatan dengan
Siti Hajar karena kelahiran Ismail hingga akhirnya dengan petunjuk Allah S.W.T
Nabi Ibrahim A.S membawa Siti Hajar dan Ismail ke tempat yang kini kita kenal
dengan kota Makkah yang pada saat itu hanya berupa gurun tandus tak berpenghuni
dan meninggalkan mereka disana.
Hari berlalu dan tahun berganti akhirnya Nabi Ibrahim A.S
kembali ke Makkah untuk menemui istri dan putranya tercinta. Betapa bahagianya
beliau ketika melihat Ismail yang mulai tumbuh besar sehingga semakin menambah
besar rasa kasih dan sayangnya kepada Ismail. Namun ditengah-tengah rasa
sukacitanya dapat berkumpul dengan putra terkasih tiba-tiba pada suatu saat
Nabi Ibrahim A.S bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih Ismail. Beliau
kaget, keraguan dan kebimbangan menyelimuti hatinya benarkah ini sebuah
perintah dari Allah atau jangan-jangan ini hanya tipudaya setan belaka?
demikian batinnya berkecamuk. Hingga akhirnya beliau mendapat mimpi dan
perintah yang sama hingga terulang tiga kali dan Nabi Ibrahim A.S pun menetapkan
tekad dan menguatkan hati lalu meyakini kalau ini adalah benar-benar perintah
Allah yang harus dilaksanakan. Nabi Ibrahim A.S pun pergi menemui putranya dan menyampaikan apa yang
diperintahkan oleh Allah melalui mimpinya. Semula beliau khawatir akan jawaban
anaknya, tapi Ismail menjawab:
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah
kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Betapa terharunya beliau mendengar jawaban dari anaknya
yang shaleh sehingga makin menambah rasa sayangnya sekaligus menambah
kesedihannya karena teringat bahwa beliau akan kehilangan anak yang
dikasihinya. Akhirnya ayah dan anak ini pun membulatkan tekad dengan penuh
keimanan dan ketaatan untuk segera melaksanakan perintah Allah tersebut, parang
yang sangat tajam pun disiapkan dan mereka berangkat menuju suatu tempat untuk
melaksanakan perintah tersebut. Dan akhirnya saat-saat terberat bagi Nabi
Ibrahim A.S pun tiba… dengan mengumpulkan segenap keyakinan dan dengan penuh
kepasrahan Nabi Ibrahim A.S pun mengayunkan parang ke leher Ismail dan mulai
menyembelihnya. Namun apa yang terjadi…. parang yang sudah begitu tajam
seakan-akan menjadi tumpul dan tidak mampu melukai leher Ismail… tak ada
setetes darahpun keluar dari leher Ismail, Nabi Ibrahim A.S pun mengulangi dan
tetap saja Ismail tidak terluka sedikitpun. Hingga akhirnya Allah memerintahkan
Nabi Ibrahim A.S untuk tidak meneruskan menyembelih Ismail dan digantikan oleh
Allah dengan seekor hewan sembelihan yang besar (para ulama sepakat kalau hewan
sembelihan yang dimaksud adalah sejenis kambing atau domba). Dan kejadian
ini menjadi asal mula disunnahkannya
berkurban bagi umat Islam pada Hari Raya Idul Adha .
Sungguh sebuah kisah yang sangat luar biasa yang
barangkali tidak akan ada seorang pun dari kita yang sanggup menyamai
kepasrahan, ketaatan, dan keimanan Nabi Ibrahim A.S sehingga kisah ini
diabadikan dalam Al Quran.
JADI
JADI
Idul Adha Bisa diterjemakan ke arah compassion untuk Aksi Sosial
Qurban yang menjadi salah satu ritual pada hari raya Idul
Adha merupakan bukti nyata bahwa ajaran Islam sarat dengan bakti sosial. Oleh
karena itu qurban tidak harus dipahami sebagai upacara “penumpahan” darah
binatang semata, melainkan ia harus dipahami secara kontekstual.
Qurban adalah media untuk mendekatkan diri kepada Allah
yang di dasarkan pada rasa taqwa. Tanpa landasan taqwa, qurban tak lebih dari
“upacara konyol”. Dalam legenda agama diceritakan bahwa ketika Habil (Abel) dan
Qabil (Kain) berqurban, Allah hanya menerima qurban dari Habil karena ia
berqurban dengan penuh ketaqwaan, sementara Qobil sebaliknya.
Dengan demikian qurban dengan menggunakan uang,
menyediakan tempat tinggal kepada orang yang tuna wisma atau memberikan modal
kepada pengangguran diperbolehkan, karena sebagaimana yang ditegaskan dalam QS.
22:37 bahwa Allah tidak menerima daging dan darah binatang qurban, melainkan
yang Ia terima adalah taqwa dari pelakunya.
Dalam semua perilaku manusia Allah hanya menerima
ketaqwaan dari mereka, karena derajat dan kemuliaan manusia hanya terletak pada
sisi ini. Kendati demikian, manfaat taqwa sendiri sejatinya kembali kepada diri
manusia, baik itu manusia sebagai makhluk individu maupun sosial.
Dengan demikian puncak dari ketaqwaan adalah kesalehan
sosial dari si empunya. Jika ada sekelompok orang yang menamakan dirinya
sebagai “muslim” namun orang lain sering menjadi korban kekerasan atas ucapan
atau tangannya maka sesungguhnya pengakuan tersebut jauh panggang dari api.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang orang lain
selamat dari lisan dan tangannya.” Dengan datangnya hari raya Idul Adha 1432
H., semoga di Negara kita tak lagi terjadi kekerasan dalam bentuk apapun.