Kaum Beragama Negeri Ini
Tuhan,
lihatlah
betapa baik kaum beragama
negeri ini
mereka terus membuatkanmu
rumah-rumah mewah
di antara gedung-gedung kota
hingga di tengah-tengah sawah
dengan kubah-kubah megah
dan menara-menara menjulang
untuk meneriakkan namaMu
menambah segan
dan keder hamba-hamba
kecilMu yang ingin sowan kepadaMu.
NamaMu mereka nyanyikan dalam acara
hiburan hingga pesta agung kenegaraan.
Mereka merasa begitu dekat denganMu
hingga masing-masing
merasa berhak mewakiliMu.
Yang memiliki kelebihan harta
membuktikan
kedekatannya dengan harta
yang Engkau berikan
Yang memiliki kelebihan kekuasaan
membuktikan kedekatannya dengan
kekuasaannya yang Engkau limpahkan.
Yang memiliki kelebihan ilmu
membuktikan
kedekatannya dengan ilmu
yang Engkau karuniakan.
Mereka yang engkau anugerahi
kekuatan sering kali bahkan merasa
diri Engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut
menentukan ibadah
tetapi juga menetapkan
siapa ke sorga siapa ke neraka.
Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan
semua yang mereka lakukan
hingga takbir
dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug.
Allah hu akbar walilla ilham.
Mustofa Bisri
Rembang
Bersalaman dengan Gadis Gila
Hari ini saya menerima surat dari sebuah kota pesisir
utara Jawa yang berisi permohonan maaf kepada saya. Tentu saja saya membalasnya
dengan kata-kata: "Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda, sebab
menurut pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, melainkan kepada
Tuhan, kepada gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri."
Meminta maaf kepada diri sendiri bisa ditempuh dengan
penginsafan hati dan pembenahan cara berfikir. Memohon ampun kepada Allah bisa
dijalankan dengan cara bersujud, shalat sebanyak-banyaknya, kalau perlu puasa
dan menyampaikan qurban sebagai semacam ruwatan atau pembersihan diri. Tetapi
bagaimana caranya meminta maaf kepada seorang yang dirahmati oleh Allah dengan
kegilaan?
Ceritanya, beberapa minggu yang lalu datang ke rumah
kontrakan saya tamu-tamu muda anggota suatu kelompok Tarikat. Pakaian mereka
necis, rambut klimis, gerak-gerik mereka memenuhi segala konsep kesopanan, dan
cahaya wajah mereka bagaikan memancarkan sima'hum fi wujuhihim min
atsaris-sujud: ada tanda-tanda bersinar di wajahnya, jejak sujud-sujud rnereka
kepada-Nya.
Ada banyak problem dan kepusingan yang sedang menimpa
saya seperti juga tiap hari terjadi, tetapi kalau menerima tamu-tamu penuh
kemuliaan seperti ini tidak ada lain yang terasa kecuali ketenteraman dan
keteduhan.
Ini anak-anak Tariqah! Bayangkanlah. Hampir semua anak
muda memperlombakan hedonisme, hura-hura dan menyembah segala jenis
materialisasi manusia, tapi anak-anak muda ini tak perlu menanti saat sekarat
untuk memilih keabadian ruhani.
Tiba-tiba nongol Si Inur, wanita tamatan SMTA yang oleh
semua orang kampung ternpat tinggal saya dianggap sampah karena sinting sesudah
ditinggal pacarnya kawin dulu. Lebih dua puluh kali sehari ia datarg dan kami
mengobrol. Mungkin karena di rumah saya ia menemukan teman-teman sejawat dan
senasib, sehingga bersedia menerimanya dan ngowongke.
Maka saya panggil Si Inur, saya ajak untuk bersalaman dan
berkenalan dengan tamu-tamu terhormat saya. Senyum-senyum ia datang sambil satu
tangannya mempermainkan helai-helai rambut. Ia menyodorkan tangannya dengan
ramah, dan rnendadak saya saksikan tamu-tamu saya kaget, gelagapan dan salah
tingkah. Semuanya tidak bersedia menerima uluran tangan Si Inur dan hanya
berkata disopan-sopankan: "Sudah, sudah... terima kasih, terima kasih!"
Tahukan Anda bahwa saya sendiri tidak menyangka betapa
saya mendadak marah menyaksikan hal itu? Bukan hanya marah, tapi juga
meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.
Saya amat sangat tersinggung karena tamu-tarnu saya
menolak keramahan seorang hamba Allah. Apalagi hamba Allah yang ini berangkat
ke alam gila dengan membawa penderitaan hati karena dikhianati cintanya.
Sedangkan Allah pun murka kalau kita khianati cinta-Nya!
Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga
dan Si Inur pasti masuk neraka, sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk
diterima uluran tangannya? Sedangkan gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu
telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasi oleh
Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini rnasih menapakkan kakinya di
jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?
Ataukah mereka jijik bila tangannya yang bersih dan wangi
harus bersentuhan dengan tangan kumuh kotor si gila? Ahli tarikat anak-anak
muda ini, ataukah priyagung-priyagung yang feodal dan suka merendahkan orang
kecil?
0, mungkin mereka keberatan salaman karena Si Inur itu
wanita yang bukan muhrimnya. Lebih berat manakah takaran antara pahala tidak
menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara bebrayan sosial? Apakah
gadis gila ini bagi para ahli tarikat masih seorang wanita? Tinggi benar naluri
seksnya!
Emha Ainun najib