Sadar atau tidak, setiap orang menetapkan sasaran
masing-masing dalam hidupnya. Dalam kenyataan, dalam kehidupan pada umumnya
orang mengejar kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kemulyaan, dan keterkenalan. Ada
juga sebagian orang yang menetapkan sasaran hidupnya dalam bentuk pencapaian
berbagai ilmu, baik ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ‘kawaskithan’ (ilmu
pengetahuan) maupun ‘kawisesan’ (spiritual).
Apakah betul bahwa kekayaan, kedudukan, kekuasaan,
kemulyaan, keterkenalan dan berbagai ilmu itu merupakan sasaran atau tujuan
hidup? Kalau semua hal tersebut dapat dicapai, bukankah orang akan bertanya:
untuk apa itu semua? Bertanya ‘itu semua untuk apa’ inilah yang sering
dilupakan orang sehingga mengejar kekayaan, kekuasaan dan sebagainya itu
seakan-akan merupakan tujuan hidup. Orang baru menyadari bahwa itu semua bukan
sasaran atau tujuan hidup pada saat sudah terlambat dan waktu sudah hampir habis.
Kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan ilmu itu semua penting
dalam kehidupan tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai sasaran. Faktor
satu-satunya yang penting dalam mencapai sasaran adalah menjadikan diri ‘kita
titis ing pati’. Artinya menjadi manusia yang mampu menggunakan waktu hidupnya
(sebelum mati) untukmenjadikan dirinya sebagai manusia yang berguna bagi
sesamanya.
Dalam upaya mencapai sasaran, kita berhadapan dengan dua
macam sarana hidup, yaitu ‘sarana luar’ (external factor) dan ‘sarana dalam’
(internal factor). ‘Sarana luar’ adalah sebagaimana sudah disebut diatas, yaitu
kekayaan, kekuasaan, ilmu dan sebagainya. ‘Sarana dalam’ adalah diri kita
sendiri, yaitu kemampuan, sikap, keyakinan dan akal yang kita miliki. Ajaran Jawa menyatakan bahwa ‘sarana dalam’
(diri maniusia) ada tiga, yaitu cipta, rasa dan karsa.
Apakah cipta, rasa dan karsa itu? Cipta, rasa dan karsa
pada dasarnya adalah tiga kekuatan (power) yang hanya diberikan oleh Sang
Pencipta kepada manusia. Jadi hanya manusia yang memiliki kekuatan cipta, rasa
dan karsa.
Cipta, rasa dan karsa merupakan tiga kekuatan manusia,
tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Kalau ketiga kekuatan ini
dapat ‘menyatu’, maka akan menjadi satu
kekuatan manusia yang dahsyat dan bermafaat bagi kehidupan manusia.
Ajaran Jawa menekankan pentingnya penciptaan keadaan dimana ketiga kekuatan tersebut
menyatu atau ‘manunggal’. Ungkapan
‘manunggaling cipta, rasa lan karsa’ sudah banyak dikenal orang awam, hanya
belum benyak diketahui maknanya.
Manunggal arti harafiahnya adalah menyatu, tetapi makna
sebenarnya tidak mudah dipahami begitu
saja. Air dengan minyak juga dapat menyatu tetapi tidak manunggal. Gula dalam
air juga dapat menyatu dalam arti larut yang dengan suatu cara masih dapat
dipisahkan lagi. Oleh karena itu ‘manunggalng cipta, rasa dan karsa’ memerlukan
penjelasan yang lebih dalam dan luas untuk pemahaminya.
Sebenarnya cipta, rasa dan karsa tidak menyatu karena
masing-masing tetap menjalankan fungsi masing-masing. Meskipun tetap mempertahankan
fungsi masing-masing, ketiganya kekuatan tersebut mengikuti secara alamiah
suatu ‘hirarchie’ tertentu. Dengan mengikuti hirarchie tersebut maka ketiga
kekuatan tersebut mencpaisinergi.
Hirarchie adalah suatu urut-urutan fungsi dan urut-urutan
proses. Dalam suatu organisasi, setiap fungsi berjalan mengiktui suatu hirachie
dalam suatu proses pengambilan keputusan. Manager bawah menyiapkan data dan
informasi yang kemudian disampaikan pada manager menengah. Pada tingkat manager
tengah, data dan infomasi diolah dan disimpulkan dalam bentuk permasalahan dan
pilihan solusi yang disampaikan kepada manager atas. Manager atas menentukan
pilihan dan menjadikan pilihan sebagai keputusan untuk bertindak.
Antara cipta, rasa dan karsa juga terjadi urutan proses
yang sama dengan proses dalam organisasi tersebut diatas. Urutan proses
didasarkan pada fungsi masing-masing, bukan berdasarkan tingkat kewenangan
seperti dalam suatu organisasi. Oleh karena itu kita perlu memahami fungsi
cipta, rasa dan karsa lebih dulu. Perlu disampaikan di sini bahwa urutan yang
benar adalah rasa, cipta dan karsa. Urutan ini memang agak berbeda dengan
ucapan sehari-hari yaitu cipta, rasa dan karsa.
Rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri
manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan
dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan,
dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan
sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui
‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh
instrumen yang disebut ‘rasa’.
Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang
‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul
tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya
menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja
perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah
hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari
luar.
Kekuatan ‘rasa’ kemudian menggerakkan kekuatan
‘cipta’. Setelah digerakkan oleh ‘rasa’,
maka ‘cipta’ mulai berfungsi dan menghasilkan ‘niat’. ‘Niat’ yang dihasilkan
oleh ‘cipta’ merupakan bayangan keinginan atau kemauan untuk bertindak yang
sudah terdifinisi atau terumuskan secara jelas. Orang sering salah menganggap
‘cipta’ atau bayangan ini sebagai ‘pemikiran’ atau idea. Cipta bukan
‘pemikiran’ atau idea, tetapi merupakan kekuatan ‘kreatip’ pada diri manusia.
Karsa dengan jelas dapat dipahami sebagai ‘pikiran’ atau
lebih tepat disebut kekuatan pikiran (mind power). ‘Pikiran’ merupakan
pekerjaan otak yang didasarkan pada arsip data dan informasi yang disimpan di
otak. Fungsi ‘pikiran’ adalah melakukan penalaran, pertimbangan, penjabaran
terhadap ‘niat’ yang dihasilkan oleh kekuatan ‘cipta’.
Perlu mendapat tekanan bahwa kekuatan rasa dan cipta
sifatnya statis, artinya bagaimanapun kuatnya kekuatan tersebut tetap saja
tidak mampu mengerakkan bagian tubuh untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Sebaliknya, kekuatan pikiran adalah kekuatan yang sifatnya dinamis ata
kinetis yang dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh manusia dalamn bentuk
tindakan atau action.
Singkatnya: sinyal dari luar diterima oleh ‘rasa’. Rasa
kemudian menyampaikan sinyal kepada ‘cipta’ yang selanjutnya menciptakan
‘niat’. Niat kemudian dijabarkan oleh ‘karsa’. Dengan adanya karsa maka manusia
melakukan ‘tindakan’ atau ‘laku’.
Kalau hirarchie fungsi ini berjalan maka dikatakan bahwa
cipta, rasa dan karsa telah manunggal. Dengan demikian kata ‘manunggal’ di sini
lebih tepat diartikan dengan arti sinergi.
Sayangnya dalam praktek hirarchie fungsi tersebut tidak
selalu berjalan dengan baik sehingga sinergi antara ketiga kekuatan tersebut
tidak terjadi. Timbul pertanyaan,
mengapa hirarchie fungsi tidak berlangsung sehingga cipta, rasa dan karsa tidak
dapat manunggal?
Selain tiga kekuatan yang telah disebut diatas, masih ada
satu kekuatan alamiah lain dalam diri manusia, yaitu yang disebut ‘naluri’ atau
instict. Naluri merupakan anugerah Sang Pencipta kepada setiap makhluk hidup
(tidak hanya manusia tetapi juga hewan, tanaman dan segala makhluk hidup lain).
Di kalangan masyarakat umum naluri sering diartikan
dengan nafsu. Dengan arti tersebut maka
ada anggapan bahwa naluri mempunyai banyak macam. Dalam kenyataan, hanya
ada satu jenis naluri, yaitu ‘naluri
bertahan hidup’ atau survival
instinct.
Setiap makhluk mempunyai naluri untuk bertahan hidup
meskipun caranya berbeda-beda. Pada hewan, misalnya, naluri bertahan hidup
terbatas pada mencari makan (mangsa), berkembang biak dan bertahan dari
kemungkinan dimangsa oleh hewan yang lain. Bentuk dan warna serta kemampuan
hewan dan tanaman pada umumnya diciptakan untuk tujuan bertahan hidup.
Naluri bertahan hidup pada diri manusia juga sama saja,
yaitu untuk mencari makan, bertahan terhadap serangan dari luar dan berkembang
biak. Hanya saja proses dari bertahan hidup pada manusia berbeda dengan pada
hewan dan tanaman. Mengapa berbeda?
Naluri (bertahan hidup) pada hewan (dan juga makhluk
hidup lain) berlangsung dengan pengendalian secara alamiah. Pengendalian naluri
hewan oleh alam berlangsung secara terukur dan konsisten. Setiap jenis hewan
telah tertentu makanannya dan mempunyai cara bertahan dari bahaya dimangsa
hewan lain yang tertentu pula. Hewan memangsa hewan lain dalam jumlah yang
tertentu atau terukur, artinya tidak lebih dari yang dibutuhkan.
Naluri bertahan hidup pada manusia (seharusnya)
dikendalikan oleh kemanunggalan rasa – cipta –karsa. Dengan perkataan lain
naluri bertahan hidup manusia tidak secara otomatis dikendalikan secara
alamiah. Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan lain, Sang Pencipta memberi
otonomi khusus pada manusia untuk memilah, memilih dan memutuskan apa yang akan
dilakukan atau tidak dilakukan. Untuk itulah maka manusia dikaruniai dengan
instrumen rasa, cipta dan karsa.
Dengan rasa, cipta dan karsa maka manusia menciptakan
nilai-nilai, norma dan aturan agar naluri bertahan hidup dapat dilaksanakan
tanpa mengganggu hayuning bebrayan (harmoni dalam pergaulan). Nilai, norma dan
aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang kemudian mengendap menjadi
kebiasaan dan watak.
Tatanan kemanunggalan rasa - cipta – karsa pada diri seseorang (lihat
diagram di atas) dapat terganggu oleh tekanan-tekanan hidup dan trauma yang
terjadi dalam perjalanan hidup seseorang.
Tekanan hidup menyebabkan ketegangan mental pada diri
manusia. Pada gilirannya, ketegangan menekan fungsi rasa dan dan fungsi cipta
surut ke belakang sehingga tidak peka atau bahkan tidak mampu lagi menerima
sinyal-sinyal dari luar. Apa yang kemudian terjadi?
Karena rasa dan cipta tidak berfungsi maka sinyal dari
rluar langsung diterima oleh karsa atau pikiran (otak). Dengan lain perkataan
karsa (pikiran) menerima sinyal dari luar dan langsung bekerja (bereaksi) dalam
bentuk tindakan atau laku.
Bagaimana dengan naluri? Karena saringan atau filter yang
berupa rasa dan cipta tidak berfungsi, maka naluri juga tidak tersaring.
Artinya pada waktu orang menerima sinyal dari luar maka naluri langsung
bereaksi tanpa kendali rasa dan cipta. Dengan lain perkataan naluri orang akan
langsung bereaksi terhadap sinyal dari luar. Apakah dengan demikian manusia
sama dengan hewan?
Tidak sama tetapi lebih buruk dari hewan. Naluri hewan
dikendalikan otomatis secara alamiah sesuai dengan takdirnya (sesuai design).
Dengan tidak berfungsinya filter rasa dan cipta, maka karsa atau pikiran sekarang
dikendalikan oleh naluri. Dengan lain perkataan karsa sekarang menerima
peritnah dari naluri. Apa yang kemudian terjadi?
Naluri bertahan hidup pada dasarnya merupakan kekuatan
negatip karena sifatnya yang defensip. Dilain pihak, pikiran merupakan sarana
untuk mengembangkan perintah. Meskipun perintah yang datang negatip, maka
pikiran tetap akan mengembangkan perintah tersebut. Dengan cara demikian maka
naluri bertahan hidup juga akan dikembangkan oleh pikiran.
Naluri bertahan hidup manusia yang dikembangkan oleh
pikiran (pada waktu rasa dan cipta sedang lumpuh) merupakan kekuatan destruktif
yang luar biasa besar. Kekuatan destruktif ini disebut rasa takut. Rasa takut inilah yagn kemudian dikembangkan
oleh karsa atau pikiran. Mengapa rasa takut membuat manusia menjadi lebih buruk
dari hewan?
Sekelompok singa di padang rumput hanya akan menangkap satu atau dua ekor
kijang yang berada dalam kelompok. Satu atau dua kijang yang telah ditangkap
kemudian dimakan ramai-ramai dalam kelompok singa. Naluri bertahan hidup dalam
diri singa mengatakan bahwa untuk hari ini cukup makan satu atau dua kijang.
Manusia yang berburu kijang akan membunuh
sebanyak-banyaknya kijang dalam kelompok.
Karena rasa takut tidak akan menemui peluang bertemtu rombongan kijang,
maka sang pemburu menembak sebanyak mungkin kijang.
Hewan dan manusia diperlengkapi dengan gairah sexual
sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan. Bai manusia yang telah kehilangan
filter rasa dan cipta, gairah sex tidak sekedar sebagai sarana untuk
mengembangkan keturunan, tetapi menjadi kenikmatan yang mungkin tidak diperoleh
di lain kesempatan.
Dengan cara yang sama rasa takut menyebabkan manusia
menjadi rakus, kejam, sombong, kikir dan perilaku buruk yang lain. Orang rakus
adalah orang yang takut tidak mendapatkan peluang di waktu lain. Orang sombong
karena takut dikira tidak kaya, tidak pandai atau tidak berkuasa. Orang kejam
karena takut orang lain akan menyakiti dirinya.
Sekarang kita mengetahui mengapa korupsi merajalela di
Indonesia dan kekerasan menjadi pola
penyelesaian masalah. Menyebabnya adalah rasa takut yang menghinggapi
masyarakat. Rasa takut muncul karena kepercayaan diri yang rendah, tidak adanya
keyakinan pada masa depan, tidak percaya lagi pada sistem dan para pemimpin.
Rasa takut menyebabkan orang selalu merasa terancam
hidupnya, sehingga secara naluriah dia bertahan untuk hidup. Rasa takut
mendorong orang berpikir bahwa dia harus menyerang sebelum diserang atau harus
bertindak sebelum terlambat. Manusia hanya tahu bagaimana harus bertahan hidup.
Apakah bertahan hidup itu salah?
Manusia diciptakan untuk hidup bukan sekedar untuk
bertahan hidup sebagaimana hewan. Ingat bahwa manusia diciptakan hidup untuk
mengemban misi hidup yang diamanahkan oleh Sang Pencipta. Hewan tidak mengemban
misi apapun dari Sang Pencipta sehingga tugas hidup dia adalah bertahan hidup.
Kalaupun manusia harus bertahan hidup maka manusia harus
melalui proses manunggaling rasa, cipta dan karsa. Agar proses manunggaling
rasa, cipta dan karsa berjalan dengan baik, maka manusia harus selalu eling lan
waspada.