Sunday, October 14, 2012

BUKAN SINETRON



Pak Sastro adalah petani yang memiliki tanah 10,000 M2 atau satu hektar dari warisan orang tuanya. Sejak dari usia muda pak Sastro sudah bertani mengikuti ayahnya menggarap sawah yang satu hektar tadi. Pada waktu itu sudah menjadi tradisi bagi orang muda untuk bekerja keras sebagai petani. Profesi bertani bukan pilihan tetapi keharusan.  Mau jadi apa lagi kalau tidak mau bertani.  Pada jaman pak Sastro muda dulu, meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi orang desa belum menganggap sekolah itu penting.  Seluruh kehidupan masih berfokus pada sawah, apalagi kalau sawahnya seluas satu hektar.

Pak Sastro adalah petani yang tergolong berhasil karena selain memiliki tanah luas, dia adalah pekerja keras, tidak malas dan mengerti betul seluk beluk pertanian. Dia tahu cara yang baik mengolah tanah, memilih benih yang baik, cara mengairi lahan dan sebagainya. Selain itu Sastro muda juga  rajin menabung sehingga dapat memiliki rumah sendiri yang memadai, memiliki ternak cukup banyak dan mempunyai simpanan emas. Pak Sastro juga termasuk orang baik, artinya tidak puyai hobi Ma-Lima (main, madon, madat, maling dan mabuk). Dia termasuk orang yang lurus.

Waktu terus berjalan. Pak Sastro dengan bu Sastro yang hanya tamat sekolah dasar dikaruniai tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dengan kemampuan finasial yang baik, pak Sastro mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus perguruan tinggi.  Bahkan salah satu anak lelakinya dapat mencapai tingkat sarjana strata dua atau S2 yang diraih diluar negeri. Anak perempuannya menjadi akuntan dan satu anak lelaki lagi menjadi sarjana teknologi informasi.

Ketiga anak pak Sastro berprestasi baik dalam pendidikannya sehingga tidak sulit mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar.  Sebagai orang tua dari masa lalu pak Sastro tidak memahami benar tuntutan jaman. Anak-anaknya lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh jamannya. Oleh karena itu anak-anak inilah yang menyampaikan kepada orang tuanya apa yang mereka butuhkan. Merekalah yang mempunyai keinginan meneruskan pendidikan setinggi mungkin. Pak Sastro hanya tut wuri handayani, apa yang anak inginkan dia mendukung. Pak Sastro hanya memberikan nasehat agar anak-anak bekerja keras dan menjadi yang terbaik pada pilihan hidupnya. Selain itu orang tua hanya dapat mendoakan.

Jer basuki mawa bea. Untuk pendidikan anak-anaknya pak Sastro menjual sebagian sawahnya dan juga simpanan emasnya. Selain itu pak Sastro tetap bertani dan beternak sehingga tetap mempunyai pendapatan yang cukup untuk kehidupan sehari-hari. Pak Sastro tahu benar bahwa anak-anaknya tidak akan terjun ke sawah untuk bertani. Tidak mungkin lagi dia meminta anak-anaknya untuk melanjutkan profesi tani yang dia geluti sepanjang hidupnya. Jaman sudah berubah, tidak sama lagi dengan pada waktu dia harus bekerja keras di sawah dengan ayahnya dulu.

Ketiga anak pak Sastro mendapat pekerjaan dengan gaji dan karier yang baik di Jakarta. Mereka bekerja di perusahaan besar yang mempunyai jangkauan internasional. Anak-anak pak Sastro adalah orang-orang sibuk dan bergaji besar. Mereka sudah memiliki rumah bagus di wilayah elit Jakarta, naik mobil lumayan bagus dan anak-anak mereka dapat bersekolah di sekolah unggulan yang mahal.
Kehidupan anak-anak pak Sastro di Jakarta dapat dikatakan telah mapan dan sibuk.  Mereka hanya sempat pulang ke desa setiap liburan  hari raya Idul Fitrie sambil menengok orang tuanya. Dengan meningkatnya karier, kesibukanpun terus bertambah. Tidak setiap tahun mereka dapat pulang. Oleh karena itu pak Sastro dan bu Sastro yang sering diminta datang ke Jakarta sambil menengok cucu.

Dengan usia yang sudah lanjut dan karena sering ke Jakarta maka pak Sastro menyerahkan sawah yang tersisa untuk digarap oleh buruh penggarap dengan cara bagi hasil (digaduhkan). Waktu terus berjalan dan usia pak dan bu Sastro juga terus bertambah. Pada akhirnya pak dan bu Sastro harus meninggalkan dunia fana ini untuk istirahat selamanya. Pak Sastro meninggal dengan tenang dan rasa puas dengan kehidupan yang ditinggalkan.

Setelah bapak dan ibunya meninggal, maka anak-naka pas Sastro tidak mempunyai kepentingan lagi di desanya. Mereka sudah mempunyai dunia sendiri di Jakarta.  Karena tidak mungkin lagi untuk mengurus, maka tanah pak Sastro dijual dan dibeli oleh orang kota. 

Dari cerita riwayat pak Sastro di atas dapat disimpulkan bahwa desa telah kehilangan dua jenis asset, yaitu sumber daya manusia terdidik (anak-anak pak Sastro) dan sumber daya lahan pertanian (tanah pak Sastro di beli orang kota).

Bagaimana kalau banyak pak Sastro yang lain? Tentunya desa akan punah dan pertanian akan lenyap. Desa yang menjadi sumber kehidupan budaya tradisional dan menjadi sumber pangan akan lenyap.  Desa-desa berubah menjadi tempat hunian dari berbagai manusia yang datang dari berbagai wilayah negara. Di sana tinggal banyak orang tetapi tidak ada kehidupan sosial maupun budaya.

Sekarang marilah kita simak cerita tentang pak Sumo. Pak Sumo tidak mendapat warisan tanah seluas tanah pak Sastro karena orang tuanya miskin. Tanah yang hanya sedikit itu tidak dapat menunjang kehidupan pak Sumo sekeluarga. Pak Sumo tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya nya sehingga mereka hanya tamatan SD dan satu orang yang tamat SMP.

Sewaktu pak Sumo dan bu Sumo meninggal mereka tidak meninggalkan warisan harta kepada anak-anaknya. Anak-anak pak Sumo yang hanya tamatan SD dan SMP harus hidup dengan bekerja seadanya. Satu anaknya yang perempuan menjadi pembatu rumah tangga di kota besar. Dua anaknya yang laki-laki tetap tinggal di desa dengan bekerja seadanya atau srabutan. Kadang jadi buruh bangunan, kadang membantu warga desa sebagai buruh tani. Satu anak bersama temannya membuka usaha tambal ban dengan modal pinjaman dari warga desa yang bermurah hati memberi pinjaman uang dan tempat.

Anak perempuan yang bekerja di kota besar mendapat penghasilan yang cukup sehingga dapat menabung. Urusan makan dan kebutuhan sehari-hari sudah ditanggung majikannya. Gajinya yang sebatas ‘UMP’ (upah minimum propinsi) diterima utuh dan ditabung.  Sewaktu pak Sumo masih hidup, sebagian gaji itu dikirim ke orang tuanya. Bagi keluarga pak Sumo kiriman ini sangat membantu meskipun tidak juga mencukupi. Kedua anak lelakinya masih tinggal di rumah pak Sumo sehingga hidupnya masih menjadi tanggungan pak Sumo.

Waktu terus berjalan dan anak-anak pak Sumo harus memenuhi panggilan alam setelah menemukan jodoh masing-masing. Mereka menikah. Si anak perempuan menemukan jodohnya di kota besar. Lelaki yang menjadi jodohnya bekerja sebagai Satpam di sebuah pusat perbelanjaan (mall) besar.  Setelah menikah keduanya tetap bekerja sehingga pendapatan mereka cukup untuk biaya hidup di kota besar. Beruntung mereka masih dapat tinggal di rumah orang tua si suami yang tinggal berdua.
Selama pak Sumo dan bu Sumo masih hidup, anak perempuan dan suaminya setiap tahun datang ke pedesaan mengunjungi orang tuanya. Tentu ada saja yang dibawa sebagai oleh-oleh. Waktu pulangpun ada tinggalan uang dengan jumlah seadanya. Pekerjaan sebagai pembatu rumah tangga sudah ditinggalkan.  Dengan tabungan selama ini mereka membuka warung makan dan ternyata cukup laris. Pendapatan si isteri yang buka warung dan si suami sebagai Satpam melebihi kebutuhan biaya hidup sehari-hari sehingga mereka dapat menabung untuk masa depan mereka dan anak-anaknya.

Dua anak lelaki pak Sumo tidak beranjak dari desanya. Pernah juga mereka mencoba merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tetapi gagal karena pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk hidup. Selain itu mereka juga tidak tahan dengan tekanan hidup di kalangan bawah Jakarta. Ada godaan melakukan tindak kriminal dari para preman, kebutuhan biaya tempat tinggal yang terus menerus dinaikkan, serta pendapatan tidak tetap sehari-harinya sehingga sering harus menanggung lapar.

Mereka juga pernah merantau ke Kalimantan untuk bekerja di kebun kelapa sawit. Kontrak dengan perusahaan kelapa sawit hanya untuk waktu selama lima bulan, yaitu waktu memetik buah kelapa sawit. Setelah itu mereka harus kembali ke desanya. Gajinya cukup baik tetapi mereka harus bekerja keras dan waktu kerja yang panjang.  Meskipun mereka ini anak desa tetapi tidak biasa bekerja keras karena tidak terlatih sebagai petani sejak kecil. Karena sering menganggur, etos kerja serta sikap mereka terhadap pekerjaan juga tidak mendukung untuk bertahan pada satu pekerjaan dalam waktu lama.

Anak-anak pak Sumo yang bekerja seadanya tentu miskin. Setelah berkeluarga, anak-anak pak Sumo tetap  miskin. Anak-anaknya (cucu pak Sumo) juga tidak dapat lanjut bersekolah karena tidak ada biaya. Mereka hanya tamat SMP, menganggur atau bekerja seadanya.  Sejarah pak Sumo terulang kembali dan proses kemiskinan terus berlanjut.

Kalau semua orang dalam keadaan seperti pak Sastro maka desa akan punah. Kalau semua orang dalam keadaan seperti pak Sumo maka kemiskinan di pedesaan akan abadi sampai terjadi keajaiban yang membuat salah satu atau beberapa anak pak Sumo dapat terentaskan dari kemiskinan. Kalaupun keajiban itu datang dan kemudian anak pak Sumo keluar desa maka akan terjadi kepunahan pedesaan juga

UNTUK APA ITU SEMUA



Sadar atau tidak, setiap orang menetapkan sasaran masing-masing dalam hidupnya. Dalam kenyataan, dalam kehidupan pada umumnya orang mengejar kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kemulyaan, dan keterkenalan. Ada juga sebagian orang yang menetapkan sasaran hidupnya dalam bentuk pencapaian berbagai ilmu, baik ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ‘kawaskithan’ (ilmu pengetahuan) maupun ‘kawisesan’ (spiritual).

Apakah betul bahwa kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kemulyaan, keterkenalan dan berbagai ilmu itu merupakan sasaran atau tujuan hidup? Kalau semua hal tersebut dapat dicapai, bukankah orang akan bertanya: untuk apa itu semua? Bertanya ‘itu semua untuk apa’ inilah yang sering dilupakan orang sehingga mengejar kekayaan, kekuasaan dan sebagainya itu seakan-akan merupakan tujuan hidup. Orang baru menyadari bahwa itu semua bukan sasaran atau tujuan hidup pada saat sudah terlambat dan waktu sudah hampir habis.

Kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan ilmu itu semua penting dalam kehidupan tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai sasaran. Faktor satu-satunya yang penting dalam mencapai sasaran adalah menjadikan diri ‘kita titis ing pati’. Artinya menjadi manusia yang mampu menggunakan waktu hidupnya (sebelum mati) untukmenjadikan dirinya sebagai manusia yang berguna bagi sesamanya.

Dalam upaya mencapai sasaran, kita berhadapan dengan dua macam sarana hidup, yaitu ‘sarana luar’ (external factor) dan ‘sarana dalam’ (internal factor). ‘Sarana luar’ adalah sebagaimana sudah disebut diatas, yaitu kekayaan, kekuasaan, ilmu dan sebagainya. ‘Sarana dalam’ adalah diri kita sendiri, yaitu kemampuan, sikap, keyakinan dan akal yang kita miliki.  Ajaran Jawa menyatakan bahwa ‘sarana dalam’ (diri maniusia) ada tiga, yaitu cipta, rasa dan karsa.

Apakah cipta, rasa dan karsa itu? Cipta, rasa dan karsa pada dasarnya adalah tiga kekuatan (power) yang hanya diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia. Jadi hanya manusia yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa.

Cipta, rasa dan karsa merupakan tiga kekuatan manusia, tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Kalau ketiga kekuatan ini dapat ‘menyatu’, maka akan  menjadi satu kekuatan manusia yang dahsyat dan bermafaat bagi kehidupan manusia. 

Ajaran Jawa menekankan pentingnya penciptaan  keadaan dimana ketiga kekuatan tersebut menyatu atau ‘manunggal’.  Ungkapan ‘manunggaling cipta, rasa lan karsa’ sudah banyak dikenal orang awam, hanya belum benyak diketahui maknanya.

Manunggal arti harafiahnya adalah menyatu, tetapi makna sebenarnya  tidak mudah dipahami begitu saja. Air dengan minyak juga dapat menyatu tetapi tidak manunggal. Gula dalam air juga dapat menyatu dalam arti larut yang dengan suatu cara masih dapat dipisahkan lagi. Oleh karena itu ‘manunggalng cipta, rasa dan karsa’ memerlukan penjelasan yang lebih dalam dan luas untuk pemahaminya.

Sebenarnya cipta, rasa dan karsa tidak menyatu karena masing-masing tetap menjalankan fungsi masing-masing. Meskipun tetap mempertahankan fungsi masing-masing, ketiganya kekuatan tersebut mengikuti secara alamiah suatu ‘hirarchie’ tertentu. Dengan mengikuti hirarchie tersebut maka ketiga kekuatan tersebut mencpaisinergi.

Hirarchie adalah suatu urut-urutan fungsi dan urut-urutan proses. Dalam suatu organisasi, setiap fungsi berjalan mengiktui suatu hirachie dalam suatu proses pengambilan keputusan. Manager bawah menyiapkan data dan informasi yang kemudian disampaikan pada manager menengah. Pada tingkat manager tengah, data dan infomasi diolah dan disimpulkan dalam bentuk permasalahan dan pilihan solusi yang disampaikan kepada manager atas. Manager atas menentukan pilihan dan menjadikan pilihan sebagai keputusan untuk bertindak.

Antara cipta, rasa dan karsa juga terjadi urutan proses yang sama dengan proses dalam organisasi tersebut diatas. Urutan proses didasarkan pada fungsi masing-masing, bukan berdasarkan tingkat kewenangan seperti dalam suatu organisasi. Oleh karena itu kita perlu memahami fungsi cipta, rasa dan karsa lebih dulu. Perlu disampaikan di sini bahwa urutan yang benar adalah rasa, cipta dan karsa. Urutan ini memang agak berbeda dengan ucapan sehari-hari yaitu cipta, rasa dan karsa.

Rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui ‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh instrumen yang disebut  ‘rasa’.

Rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang ‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari luar.

Kekuatan ‘rasa’ kemudian menggerakkan kekuatan ‘cipta’.  Setelah digerakkan oleh ‘rasa’, maka ‘cipta’ mulai berfungsi dan menghasilkan ‘niat’. ‘Niat’ yang dihasilkan oleh ‘cipta’ merupakan bayangan keinginan atau kemauan untuk bertindak yang sudah terdifinisi atau terumuskan secara jelas. Orang sering salah menganggap ‘cipta’ atau bayangan ini sebagai ‘pemikiran’ atau idea. Cipta bukan ‘pemikiran’ atau idea, tetapi merupakan kekuatan ‘kreatip’ pada diri manusia.

Karsa dengan jelas dapat dipahami sebagai ‘pikiran’ atau lebih tepat disebut kekuatan pikiran (mind power). ‘Pikiran’ merupakan pekerjaan otak yang didasarkan pada arsip data dan informasi yang disimpan di otak. Fungsi ‘pikiran’ adalah melakukan penalaran, pertimbangan, penjabaran terhadap ‘niat’ yang dihasilkan oleh kekuatan ‘cipta’.

Perlu mendapat tekanan bahwa kekuatan rasa dan cipta sifatnya statis, artinya bagaimanapun kuatnya kekuatan tersebut tetap saja tidak mampu mengerakkan bagian tubuh untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, kekuatan pikiran adalah kekuatan yang sifatnya dinamis ata kinetis yang dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh manusia dalamn bentuk tindakan atau action.

Singkatnya: sinyal dari luar diterima oleh ‘rasa’. Rasa kemudian menyampaikan sinyal kepada ‘cipta’ yang selanjutnya menciptakan ‘niat’. Niat kemudian dijabarkan oleh ‘karsa’. Dengan adanya karsa maka manusia melakukan ‘tindakan’ atau ‘laku’.

Kalau hirarchie fungsi ini berjalan maka dikatakan bahwa cipta, rasa dan karsa telah manunggal. Dengan demikian kata ‘manunggal’ di sini lebih tepat diartikan dengan arti sinergi.

Sayangnya dalam praktek hirarchie fungsi tersebut tidak selalu berjalan dengan baik sehingga sinergi antara ketiga kekuatan tersebut tidak terjadi.  Timbul pertanyaan, mengapa hirarchie fungsi tidak berlangsung sehingga cipta, rasa dan karsa tidak dapat manunggal?

Selain tiga kekuatan yang telah disebut diatas, masih ada satu kekuatan alamiah lain dalam diri manusia, yaitu yang disebut ‘naluri’ atau instict. Naluri merupakan anugerah Sang Pencipta kepada setiap makhluk hidup (tidak hanya manusia tetapi juga hewan, tanaman dan segala makhluk hidup lain).

Di kalangan masyarakat umum naluri sering diartikan dengan nafsu. Dengan arti tersebut maka  ada anggapan bahwa naluri mempunyai banyak macam. Dalam kenyataan, hanya ada satu jenis naluri, yaitu ‘naluri  bertahan hidup’  atau survival instinct.

Setiap makhluk mempunyai naluri untuk bertahan hidup meskipun caranya berbeda-beda. Pada hewan, misalnya, naluri bertahan hidup terbatas pada mencari makan (mangsa), berkembang biak dan bertahan dari kemungkinan dimangsa oleh hewan yang lain. Bentuk dan warna serta kemampuan hewan dan tanaman pada umumnya diciptakan untuk tujuan bertahan hidup.

Naluri bertahan hidup pada diri manusia juga sama saja, yaitu untuk mencari makan, bertahan terhadap serangan dari luar dan berkembang biak. Hanya saja proses dari bertahan hidup pada manusia berbeda dengan pada hewan dan tanaman. Mengapa berbeda?

Naluri (bertahan hidup) pada hewan (dan juga makhluk hidup lain) berlangsung dengan pengendalian secara alamiah. Pengendalian naluri hewan oleh alam berlangsung secara terukur dan konsisten. Setiap jenis hewan telah tertentu makanannya dan mempunyai cara bertahan dari bahaya dimangsa hewan lain yang tertentu pula. Hewan memangsa hewan lain dalam jumlah yang tertentu atau terukur, artinya tidak lebih dari yang dibutuhkan.

Naluri bertahan hidup pada manusia (seharusnya) dikendalikan oleh kemanunggalan rasa – cipta –karsa. Dengan perkataan lain naluri bertahan hidup manusia tidak secara otomatis dikendalikan secara alamiah. Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan lain, Sang Pencipta memberi otonomi khusus pada manusia untuk memilah, memilih dan memutuskan apa yang akan dilakukan atau tidak dilakukan. Untuk itulah maka manusia dikaruniai dengan instrumen rasa, cipta dan karsa.

Dengan rasa, cipta dan karsa maka manusia menciptakan nilai-nilai, norma dan aturan agar naluri bertahan hidup dapat dilaksanakan tanpa mengganggu hayuning bebrayan (harmoni dalam pergaulan). Nilai, norma dan aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang kemudian mengendap menjadi kebiasaan dan watak.  

Tatanan kemanunggalan rasa -  cipta – karsa pada diri seseorang (lihat diagram di atas) dapat terganggu oleh tekanan-tekanan hidup dan trauma yang terjadi dalam perjalanan hidup seseorang.

Tekanan hidup menyebabkan ketegangan mental pada diri manusia. Pada gilirannya, ketegangan menekan fungsi rasa dan dan fungsi cipta surut ke belakang sehingga tidak peka atau bahkan tidak mampu lagi menerima sinyal-sinyal dari luar. Apa yang kemudian terjadi?

Karena rasa dan cipta tidak berfungsi maka sinyal dari rluar langsung diterima oleh karsa atau pikiran (otak). Dengan lain perkataan karsa (pikiran) menerima sinyal dari luar dan langsung bekerja (bereaksi) dalam bentuk tindakan atau laku.

Bagaimana dengan naluri? Karena saringan atau filter yang berupa rasa dan cipta tidak berfungsi, maka naluri juga tidak tersaring. Artinya pada waktu orang menerima sinyal dari luar maka naluri langsung bereaksi tanpa kendali rasa dan cipta. Dengan lain perkataan naluri orang akan langsung bereaksi terhadap sinyal dari luar. Apakah dengan demikian manusia sama dengan hewan?

Tidak sama tetapi lebih buruk dari hewan. Naluri hewan dikendalikan otomatis secara alamiah sesuai dengan takdirnya (sesuai design). Dengan tidak berfungsinya filter rasa dan cipta, maka karsa atau pikiran sekarang dikendalikan oleh naluri. Dengan lain perkataan karsa sekarang menerima peritnah dari naluri. Apa yang kemudian terjadi?

Naluri bertahan hidup pada dasarnya merupakan kekuatan negatip karena sifatnya yang defensip. Dilain pihak, pikiran merupakan sarana untuk mengembangkan perintah. Meskipun perintah yang datang negatip, maka pikiran tetap akan mengembangkan perintah tersebut. Dengan cara demikian maka naluri bertahan hidup juga akan dikembangkan oleh pikiran.

Naluri bertahan hidup manusia yang dikembangkan oleh pikiran (pada waktu rasa dan cipta sedang lumpuh) merupakan kekuatan destruktif yang luar biasa besar. Kekuatan destruktif ini disebut rasa takut.  Rasa takut inilah yagn kemudian dikembangkan oleh karsa atau pikiran. Mengapa rasa takut membuat manusia menjadi lebih buruk dari hewan?

Sekelompok singa di padang rumput hanya akan menangkap satu atau dua ekor kijang yang berada dalam kelompok. Satu atau dua kijang yang telah ditangkap kemudian dimakan ramai-ramai dalam kelompok singa. Naluri bertahan hidup dalam diri singa mengatakan bahwa untuk hari ini cukup makan  satu atau dua kijang.

Manusia yang berburu kijang akan membunuh sebanyak-banyaknya kijang dalam kelompok.  Karena rasa takut tidak akan menemui peluang bertemtu rombongan kijang, maka sang pemburu menembak sebanyak mungkin kijang.

Hewan dan manusia diperlengkapi dengan gairah sexual sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan. Bai manusia yang telah kehilangan filter rasa dan cipta, gairah sex tidak sekedar sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan, tetapi menjadi kenikmatan yang mungkin tidak diperoleh di lain kesempatan.

Dengan cara yang sama rasa takut menyebabkan manusia menjadi rakus, kejam, sombong, kikir dan perilaku buruk yang lain. Orang rakus adalah orang yang takut tidak mendapatkan peluang di waktu lain. Orang sombong karena takut dikira tidak kaya, tidak pandai atau tidak berkuasa. Orang kejam karena takut orang lain akan menyakiti dirinya.

Sekarang kita mengetahui mengapa korupsi merajalela di Indonesia dan  kekerasan menjadi pola penyelesaian masalah. Menyebabnya adalah rasa takut yang menghinggapi masyarakat. Rasa takut muncul karena kepercayaan diri yang rendah, tidak adanya keyakinan pada masa depan, tidak percaya lagi pada sistem dan para pemimpin.

Rasa takut menyebabkan orang selalu merasa terancam hidupnya, sehingga secara naluriah dia bertahan untuk hidup. Rasa takut mendorong orang berpikir bahwa dia harus menyerang sebelum diserang atau harus bertindak sebelum terlambat. Manusia hanya tahu bagaimana harus bertahan hidup. Apakah bertahan hidup itu salah?

Manusia diciptakan untuk hidup bukan sekedar untuk bertahan hidup sebagaimana hewan. Ingat bahwa manusia diciptakan hidup untuk mengemban misi hidup yang diamanahkan oleh Sang Pencipta. Hewan tidak mengemban misi apapun dari Sang Pencipta sehingga tugas hidup dia adalah bertahan hidup.

Kalaupun manusia harus bertahan hidup maka manusia harus melalui proses manunggaling rasa, cipta dan karsa. Agar proses manunggaling rasa, cipta dan karsa berjalan dengan baik, maka manusia harus selalu eling lan waspada.

Dengan eling lan waspada manusia akan mampu menciptakan peradaban melalui nilai-nilai budaya (buatan manusia) dan mengikuti nilai-nilai religius (yang datang dari Sang Pencipta).

Support web ini

BEST ARTIKEL