Saturday, June 20, 2015

TETAP JOKOWI



Saat ini banyak yang bertanya-tanya, kemana para pendukung Jokowi?
Ini di sini.
Saya masih mendukung Jokowi.
Saya bukan seorang oportunis, yang melarikan diri ketika masalah datang tetapi muncul terdepan ketika kemenangan hadir.
Masalah harus dihadapi dan dipecahkan, bukan untuk dihindari (untuk kemudian muncul lagi bagi generasi berikutnya).
Saya tampilkan kutipan berikut:“penghuni tikungan jalanan, lenyap saat peristiwa, muncul paling depan setelah kejadian” (Yockie Suryo Prayogo)
Membangun negara yang sudah kocar-kacir membutuhkan waktu.
Ada banyak hal yang harus dibenahi.
Membangun infrastruktur tidak bisa instan.
Butuh waktu dan pengorbanan.
Sama seperti dengan menanam pohon (kelapa).
Mungkin kita tidak sempat merasakan buahnya. Ini adalah untuk generasi berikutnya.
Oh ya, untuk pak Jokowi, tetaplah tegas dengan prinsip-prinsip bapak.
Gantilah bawahan dengan orang-orang yang memegang visi dan cita-cita yang sama.
Yang memiliki keberanian untuk menggapai cita-cita meskipun jalan menuju ke sana terjal dan berliku-liku.
Saya paham bahwa ada manuver-manuver politik yang harus dilakukan.
Ada risiko yang harus diambil. Namun, janganlah mengorbankan prinsip untuk jabatan. Paling-paling bapak ditendang seperti halnya Gus Dur, yang masih saya hargai (respect). You have to prove nothing to nobody, but yourself.


Mari kita tetap berjuang. Kerja, kerja, kerja. Mari kita kerja.


bagi saya ini menunjukkan ada keberadaban di Joko Wi 


Bisa untuk bacaan ....nggak mutu nggak apa apa untuk sekedar di baca


BUKAN MAN FOR OTHERS



Manusia-manusia Indonesia ini nampaknya makin egois saja. Yang ada dalam pikirannya dia hanya dirinya sendiri. 
Empati dan berkorban sudah merupakan barang yang langka. 
Mungkin sebaiknya kata-kata itu dihapuskan saja dari kamus Bahasa Indonesia.
Berikut ini beberapa contohnya:

Saya mau masuk surga. 
Peduli amat dengan orang lain. 
Kamu mau masuk neraka kek, surga kek. 
Peduli! 
Yang penting saya masuk surga. 
Saya mau menjalankan apa yang diperintah oleh agama saya. 
Awas kalau menghalangi jalan saya. 
Bukankah seharusnya dia mengajak orang lain dengan santun?

“Memberi” lampu besar (dim). 
Seolah berkata … “Awaaasss saya mau lewat! Kamu berhenti dulu!”. 
Dia tidak yakin orang akan memberikan jalan untuknya karena dia pikir semua akan seperti dia, tidak mau mengalah. 
Jadi lucu (kesel?) aja saya melihatnya karena saya cenderung memberi jalan untuk orang lain.

Saya mau puasa … kalian semua yang jualan tutup! Tidak peduli ibu-ibu yang harus berjualan makanan di pinggir jalan untuk menafkahi keluarganya. Mereka terpaksa harus berjuang. Pedulikah kita terhadap mereka? Tidak! Saya kan puasa! Hargai saya dong! 
Bukankah seharusnya kita juga memikirkan mereka. Yang jualan juga punya hati nurani. Menutup warungnya dengan tirai. Ibu-ibu yang berjualan juga tidak vulgar di depan orang banyak.

Berdiri menghalangi jalan, duduk di tangga menghalangi orang yang turun naik tanggak, berjalan dengan super santainya tanpa mengetahui bahwa dia menghalangi ornag lain, memarkir kendaraan sesukanya tidak mau berbagi dengan orang lain, parkir di trotoar atau bahu jalan tanpa peduli ini akan mengganggu lancarnya lalu linta, berdagang sembarangan. Semuanya tidak pernah mencoba memperhatikan apakah apa yang dilakukannya menyulitkan orang lain.


Yang penting adalah SayaSaya, dan Saya! Bukan lainnya

Support web ini

BEST ARTIKEL