Renungan dari seorang Nenek...
Di ruang sidang pengadilan, seorang hakim duduk tercenung
menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri
singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, dan
cucunya kelaparan. Namun seorang laki yang merupakan manajer dari PT yang
memiliki perkebunan singkong tersebut tetap pada tuntutannya, dg alasan agar
menjadi contoh bagi warga lainnya.
Hakim menghela nafas. dan berkata, “Maafkan saya, bu”,
katanya sambil memandang nenek itu.
”Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap
hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda anda Rp 1 juta dan jika anda
tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan
jaksa PU”.
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Namun
tiba-tiba hakim mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil
& memasukkan uang Rp 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada hadirin
yang berada di ruang sidang.
‘Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada
tiap orang yang hadir di ruang sidang ini, sebesar Rp 50 ribu, karena menetap
di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk
memberi makan cucunya.
"Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam
topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa.”
sebelum palu diketuk nenek itu telah mendapatkan
sumbangan uang sebanyak Rp 3,5 juta dan sebagian telah dibayarkan kepanitera
pengadilan untuk membayar dendanya, setelah itu dia pulang dengan wajah penuh
kebahagian dan haru dengan membawa sisa uang termasuk uang Rp 50 ribu yang dibayarkan
oleh manajer PT yang menuntutnya.
Semoga di indonesia banyak hakim-hakim yang berhati mulia
sepertii ini.
polres sidoardjo
URIP NGANGO SIMBOL
URIP NGANGO SIMBOL
Kita hidup di negeri simbol. Semua harus ber-simbol,
tanpa simbol maka semua menjadi tidak ada.
Simbol menjadi sebuah ukuran, bahkan berkembang menjadi merk dagang. Ketika sukses harus tersimbol-kan dengan kekayaan, maka kita akan mengejar simbol itu untuk mendapat pengakuan. Bahkan kemiskinan-pun pun mempunyai simbol tersendiri. Ketika kita hidup dalam lorong2 sempit, ketika kita menjadi “hanya” seorang penarik becak, maka kita pun di simbolkan si miskin. ” Belajarlah yang baik, supaya besarnya jangan jadi rukang becak…”
Bahkan gender pun bersimbol.
Lelaki harus ter-simbolkan jantan, gagah dan tahan lama. Karena terus menerus di doktrin seperti itu, maka muncul-lah si Aceng dengan segala bendanya yang mujarab. Mulai dari obat biru yang bisa mem-berdirikan daging yang semula diam membisu sampai pembungkus yang bergerigi dan berasa strawberry supaya tetap disayang istri.
Wanita tidak kalah serunya. Ia harus tersimbolkan cantik, langsing, berambut bak mahkota sampai ber-alis runcing. Ketika seorang wanita tidak seperti simbol itu, maka ia di simbolkan sebagai seorang wanita yang tidak mampu mengurus diri. Kasihan sebenarnya, karena mereka akhirnya menjadi bidikan empuk penjual “rasa percaya diri”.
Simbol2 itu sudah masuk pada ranah keyakinan. Tuhan-pun bersimbol.
Si A Tuhannya begini, tidak sama dengan Tuhanku. Si B Tuhannya begono lebih mulya daripada Tuhanmu.
Bahkan agama yang seharusnya sebuah “petunjuk” pun beralih menjadi simbol. Entah kenapa manusia bisa begitu bodoh dan tidak ada rasa puasnya. Agama memjadi merk dagang, mana yang paling laris. Ketika akhirnya si A pindah ke si B, mereka-pun keras bertakbir. Ketika si B pindah ke si A, maka dibuatlah kesaksian.
Ketika seorang merasa, “ini sudah masuk bulan reliji..” maka mereka berbondong2 menutup dirinya dengam aksesoris agamis. Bahkan dalam tempat ibadahpun, mereka tetap ingin di ukur manusia lain. Berpakaian menarik dan wangi, supaya mata yang lain melirik.
Pertanyaannya, kenapa manusia membutuhkan simbol dalam hidupnya ?
Jawabannya sederhana saja, kebodohan.
Karena kebodohan-lah maka kita membutuhkan sebuah simbol, karena simbol itu berarti pengakuan, sebuah ukuran. Tanpa simbol, serasa ada yang kurang. Simbol itu harus berwujud, karena yang tidak berwujud berarti tidak eksis. Simbol itu harus-lah dalam bentuk yang bisa dipamerkan.
Padahal, mampukah simbol itu menyelamatkan kita di hari pengadilan ? Saat kita semua dilucuti dari semua bentuk yang membedakan ? Ketika kita semua berjalan telanjang dan sama tanpa ada pengecualian ?
Seperti secangkir kopi yang sudah tidak mampu lagi kita bedakan manakah yang robusta, mana yang arabica dan mana campuran keduanya. Baru terasa bedanya ketika ia di-seruput. Nikmat-nyalah yang membedakan cangkir kopi satu dengan yang lainnya.
Begitu juga kita. Hanya di ukur dari amal dan perbuatan yang tidak bisa di pamerkan, dan hanya bisa terukur ketika berada dalam timbangan…
” Mereka yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat..” Imam Ali as
Simbol menjadi sebuah ukuran, bahkan berkembang menjadi merk dagang. Ketika sukses harus tersimbol-kan dengan kekayaan, maka kita akan mengejar simbol itu untuk mendapat pengakuan. Bahkan kemiskinan-pun pun mempunyai simbol tersendiri. Ketika kita hidup dalam lorong2 sempit, ketika kita menjadi “hanya” seorang penarik becak, maka kita pun di simbolkan si miskin. ” Belajarlah yang baik, supaya besarnya jangan jadi rukang becak…”
Bahkan gender pun bersimbol.
Lelaki harus ter-simbolkan jantan, gagah dan tahan lama. Karena terus menerus di doktrin seperti itu, maka muncul-lah si Aceng dengan segala bendanya yang mujarab. Mulai dari obat biru yang bisa mem-berdirikan daging yang semula diam membisu sampai pembungkus yang bergerigi dan berasa strawberry supaya tetap disayang istri.
Wanita tidak kalah serunya. Ia harus tersimbolkan cantik, langsing, berambut bak mahkota sampai ber-alis runcing. Ketika seorang wanita tidak seperti simbol itu, maka ia di simbolkan sebagai seorang wanita yang tidak mampu mengurus diri. Kasihan sebenarnya, karena mereka akhirnya menjadi bidikan empuk penjual “rasa percaya diri”.
Simbol2 itu sudah masuk pada ranah keyakinan. Tuhan-pun bersimbol.
Si A Tuhannya begini, tidak sama dengan Tuhanku. Si B Tuhannya begono lebih mulya daripada Tuhanmu.
Bahkan agama yang seharusnya sebuah “petunjuk” pun beralih menjadi simbol. Entah kenapa manusia bisa begitu bodoh dan tidak ada rasa puasnya. Agama memjadi merk dagang, mana yang paling laris. Ketika akhirnya si A pindah ke si B, mereka-pun keras bertakbir. Ketika si B pindah ke si A, maka dibuatlah kesaksian.
Ketika seorang merasa, “ini sudah masuk bulan reliji..” maka mereka berbondong2 menutup dirinya dengam aksesoris agamis. Bahkan dalam tempat ibadahpun, mereka tetap ingin di ukur manusia lain. Berpakaian menarik dan wangi, supaya mata yang lain melirik.
Pertanyaannya, kenapa manusia membutuhkan simbol dalam hidupnya ?
Jawabannya sederhana saja, kebodohan.
Karena kebodohan-lah maka kita membutuhkan sebuah simbol, karena simbol itu berarti pengakuan, sebuah ukuran. Tanpa simbol, serasa ada yang kurang. Simbol itu harus berwujud, karena yang tidak berwujud berarti tidak eksis. Simbol itu harus-lah dalam bentuk yang bisa dipamerkan.
Padahal, mampukah simbol itu menyelamatkan kita di hari pengadilan ? Saat kita semua dilucuti dari semua bentuk yang membedakan ? Ketika kita semua berjalan telanjang dan sama tanpa ada pengecualian ?
Seperti secangkir kopi yang sudah tidak mampu lagi kita bedakan manakah yang robusta, mana yang arabica dan mana campuran keduanya. Baru terasa bedanya ketika ia di-seruput. Nikmat-nyalah yang membedakan cangkir kopi satu dengan yang lainnya.
Begitu juga kita. Hanya di ukur dari amal dan perbuatan yang tidak bisa di pamerkan, dan hanya bisa terukur ketika berada dalam timbangan…
” Mereka yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat..” Imam Ali as
No comments:
Post a Comment